Selasa, 06 Juli 2010

DASAR PERUNDANG-UNDANGAN BERLAKUNYA HUKUM ADAT

Dalam Undang-Undang Dasar (UUD tahun 1945, yang diberlakukan kembali menurut Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959) tiada satu pasalpun yang memuat dasar (perundang-undangan) berlakunya hukum adat itu. Menurut Pasal 11 Aturan Peralihan UUD maka "Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini".

Sebelum berlakunya kembali UUD ini, maka berlaku Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950. Dalam Undang-Undang Dasar sementara itu Pasal 104 ayat 1 mengatakan bahwa "Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan undang-undang dam aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu. "Tetapii ketentuan ini, yang jikalau kita mengartikan "hukum adat" itu seluas-Iuasnya, memuat suatu grondwettelijke grondslag (dasar konstitusional) berlakunya hukum adat, sampai sekarang belum diberikan dasar hukum penyelenggaraannya (Undang-Undang organik).

Dasar perundang-undangan berlakunya hukum adat, yang berasal darii zaman kolonial dan yang pada zaman sekarang masih tetap berlaku, adalah Pasal 131 ayat 2 sub b IS. Menurut ketentuan tersebut, maka bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan hukum timur asing berlaku hukum adat mereka. Tetapi bilamana keperluan sosial mereka memerlukanya, maka pembuat ordonansi dapat menentukan bagi mereka:
a. hukum Eropa
b. hukum Eropa yang telah diubah (gewijzigd Europees recht)
c. hukum bagi beberapa golongan bersama-sama (gemeenschappelijkrecht), dan apabila kepentingan umum memerlukannya:
d. hukum baru (nieuw recht), yaitu hukum yang merupakan "syntese” antara hukum adat dan hukum Eropa ("fantasierecht" van Vollen hoven atau "ambtenarenrecht" van Idsinga)

Mengenai Pasal 131 ayat 2 sub b IS ini, harus dikemukakan dua hal, Pertama, ketentuan tersebut adalah suatu pasal kodifikasi (codificatie-artikel), yaitu ketentuan tersebut memuat suatu tugas kepada pembuat undang-undang. Tetapi hal kedua, selama redaksi Pasal 131 ayat 2 sub b IS ini berlaku redaksi ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1920 (antara tanggal 1 januari 1920 dan tanggal 1 Januari 1926 redaksi Pasal 131 IS berlaku sebagai redaksi yang baru dari Pasal 75 RR 1854), maka kodifikasi yang diperintahkan kepada pembuat ordonansi itu belum terjadi.

Pasal 131 ayat 6 IS menerangkan bahwa selama hukum perdata serta hukum dagang yang sekarang "thans" berlaku bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan hukum timur asing belum diganti dengan suatu kodifikasi. seperti yang diperintahkan dalam Pasal 131 ayat 2 sub b IS, maka hukum tersebut berlaku bagi kedua golongan hukum itu. Jadi, selama belum ada kodifikasi bagi kedua golongan hukum itu, maka tetap berlaku hukum adatnya, seperti yang sebelum tanggal 1 Januari 1920, telah ditentukan oleh Pasal 75 ayat 3 redaksi lama RR 1854.

Inilah penafsiran kata "thans" -- "sekarang", menurut artinya dalam bahasa "Thans berarti "pada waktu ini", yaitu waktu mulai berlakunya perubahan redaksi lama Pasal 75 RR 1854 sehingga menjadi redaksi baru Pasal tersebut (sehingga menjadi redaksi Pasal 131 IS).

Mengenai hukum adat itu antara Pasal 75 redaksi lama RR 1854 dan Pasal 131 IS (= Pasal 75 redaksi baru RR 1854) ada beberapa perbedaan yang penting.
1. Satu perbudaan yang penting tersebut di atas, yaitu Pasal 75 redaksi lama RR 1854 ditujukan kcpada hakim sedangkan Pasal 131 IS ditujukan kepada pembuat undang-undang.
2. Perbedaan kedua, adalah Pasal 75 redaksi lama RR 1854 tidak memuat kemungkinan orang Indonesia asli ditundukan pada suatu hukum baru.
3. Perbedaan ketiga, adalah hukum adat tidak boleh dijalankan apabila bertentangan dengan "asas-asas keadilan" (ayat 3 Pasal 75 redaksi lama RR 1854) dan apabila hukum adat tidak dapat menyelesaikan perkara, maka hakim. dapat rnenyelesaikannya menurut asas-asas hukum Eropa (ayat 6 Pasal 75 redaksi lama RR 1854).

Para sarjana hukum yang beranggapan bahwa (setelah tahun 1919) hakim berkuasa menguji dan menambah hukum adat ialah Capentieir Ailing, Nederburgh, Andre de In porte dan juga Djojodigoeno (?). tetapi mereka inii mendapat tantangan dari banyak pengarang lain, yaitu van Vollenhoven, ter' Haar, Klientjes, Logemann, Soepomo.

Yang menjadi alasan van Vollenhoven bahwa hakim setelah tahun 1919 tidak lagi berkuasa menguji dan menambah hukum adat, ialah:
1. sejarah penetapan perubahan Pasal 75 redaksi lama R.R. 1854 tidak mengatakan apa-apa tentang meneruskan tidaknya dua kekuasaan tersebut.
2. redaksi ayat 6 Pasal 131 I.S. memuat tugas baik bagi hakim maupun bagi administrasi (tata usaha) negara. Oleh karena kepada Administrasi negara tiidak diberi kekuasaan untuk menguji dan menambah hukum adat, maka tidak boleh dikatakan bahwa dengan sendirinya kekuasaan itu diberi kepada hakim.
3. sejarah praktek kekuasaan itu telah menunjukkan kepada kita bahwa kekuasaan tersebut dijalankan oleh hakim secara tidak sesuai dengan tujuannya. Sebab itu kekuasaan istimewa tersebut sungguh-sungguh tidak perlu lagi.


Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Darurat tahun 1951 nr 1, LN 1951 nr 9, menentukan bahwa "pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapuskan:
1. segala pengadilan Swapraja dalam Negara Sumatra Timur dahulu, Keresidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu, kecuali peradilan agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Swapraja.
2. Segala Pengadilan Adat (Inheemse rechtspraak in rechtsteeks bestuurd gebied), kecuali peradilan agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan adat.

Tetapi menurut Pasal 1 ayat 3 LN 1951 nr 9 ini, dorpsrechter tetap dipertahankan. Peradilan yang dilakukan oleh hakim swapraja dan hakim adat yang telah dihapuskan itu, diteruskan oleh Pengadilan Negeri.

Daerah-daerah di mana hakim swapraja dan hakim adat itu telah dihapuskan, adalah beberapa lagi: Bali (hakim swapraja, Tambahan LN nr. 231), Sulawesi (hakim swapraja maupun hakim adat, Tambahan LN nr 276), Lombok (hakim adat, Tambahan LN nr 462), Sumbawa, Sumba, Flores dan Timor (hakim swapraja, Tambahan LN nr 603) dan Kalimantan (hakim swapraja maupun hakim adat, Tambahan LN nr 642).

1 komentar:

  1. Casinos Near Penn National Race Course - Mapyro
    Find Casinos Near Penn 충청남도 출장마사지 National 보령 출장마사지 Race Course in Chester, PA near I-395. Mapyro® 충청남도 출장샵 provides an easy to 서귀포 출장마사지 navigate and easy to use 영천 출장마사지 way around the casino

    BalasHapus