1. Asas domein yang dipergunakan sebagai dasar dari pada perundang-undangan agraria yang berasal dari pemerintah penjajahan tidak dikenal dalam hukum agraria yang baru. Asas domein adalah bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan asas daripada negara yang rnerdeka dan modern.
Undang-undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun negara bertiindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) yang menyatakan, bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh negara. Sesuai dengan pangkai pendirian tersebut di atas perkataan dikuasai dalam pasal ini bukanlah berarti dimiIiki, akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada negara, sebagmi organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia iitu, untuk pada tingkatan yang tertinggi:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya;
b. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bumi, air dan ruang angkasa itu;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Pendeknya segala sesuatu tujuan adalah untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur (Pasal 2 ayat (2) dan (3).
2. Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan negara sebagai yang disebut dalam Pasal 1 dan 2 maka di dalam Pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan kesatuan-masyarakat hukum, yang dimaksud akan mendudukkan hak itu pada tempat yang sewajarnya di dalam alam bernegara dewasa ini. Pasal 13 menentukan, bahwa: Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dani masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, hams sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi .
3. Pasal 6, yaitu bahwa Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Ini berarti, bahwa hak atas usaha apapun yang ada pacla seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi, kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dcngan keadaannya dan sifat daripada hakya, hingga bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara.
Dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan hukum
1. Sebagaimana telah diterangkan dii atas hukum agraria sekarang ini mernpunyai sifat dualisrne dan mengadalkan perbedaan antara hak-hak tanah menurut hukum adat dan hak-•hak tanah menurut hukum barat, yang berpokok pada ketentuan-ketentuan dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia. Undang-undang Pokok agraria bermaksud menghilangkan dualisrne itu dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan hukum, sesuai dengan keinginan rakyat, sebagai bangsa yang satu dan sesuai pula dengan kepentingan perekonomian.
2. Di dalam menyelenggarakan kesatuan hukum undang-undang Pokok Agraria tidak menutup mata terhadap masih adanya perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum dari golongan-golongan.
3. Dengan hapusnya perbedaan antara hukum adat dan hukum barat dalam bidang hukum agraria, maka maksud untuk mencapai kesederhanaan hukum pada hakikatnya akan terselenggarakan pula.
Demikianlah segi-segi terpenting rezim hukum tanah baru menurut Undang-undang Pokok Agraria. Dibuatnya undang,-undang tersebut adalah salah satu langkah terpenting ke arah pembangunan hukum nasional yang didasarkan atas kepribadian, Naluri dan Kepentingan bangsa lndonesia seluruhnya.
Dalam Bulan Maret 1974 diadakanlah seminar hukum nasional III di Surabaya yang antara lain menyesuaikan kesimpulan-kesimpulannya dengan Garis-garis Besar Haluan Negara yaitu sebagai berikut:
1. Pembinaan hukum nasional harus memperhatikan hukum adat yang merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law).
2. Untuk itu pendekatan sosiologis yang dapay dijadikan alat untuk mengadakan analisa sosial alas dasar analisa sosial tersebut diadakan proyeksi sosial. Oleh karena itu, maka penelitian hukum juga harus menggunakan pendekatan yang tidak hanya bersifat ilrnu hukum, melainkan juga menggunakan pendekatan interdisipliner yang menggunakan ilmu -ilmu sosial lainnya sebagai penunjang.
3. Unifikasi hukum dan pembentukan hukum melalui perundang-undangan dalam proses pembangunan memerlukan skala prioritas yang demikian, maka bidang- bidang hukum yang sifatnya universal dan netral, yaitu bidang-bidang hukumi yang berhubungan dengan kepentingan kemajuan ekonomi dan pembangunan, perlu diprioritaskan dalam pembentukannya, sedangkan bidang-•bidang hukum yang erat hubungannya dengan kehidupan pribadi, kehidupan spiritual dan kehidupan budaya bangsa memerlukan penggarapan yang seksama dan tidak tergesa-gesa.
4. Menyadari pentingnya kodifiikasi dalam rangka pembinaan hukum nasional khususnya dan pembangunan nasional.
5. Pengambilan/pengoperan hukum asing yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dapat diterima, asalkan hal tersebut dapat memperkembangkan dan memperkaya hukum nasional kita.
6. Perlu diingat penelitian, terutama di bidang hukum adat di seluruh daerah, untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan nyata tentang hukum adat yang benar-benar hidup di seluruh tanah air.
Pada tanggal 2 Januari 1974, diundangkanlah Undang-undang tentang Perkawinan, yaiitl.l Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974, dan berlaku secara efektif terhitung mulai tanggaI 1 Oktober 1975 dan yang mendapatkan dasar pengaturan pelaksanaannya dalarn Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975, yang diundangkan pada tanggal 4 April 1975.
Selasa, 06 Juli 2010
HUKUM ADAT SEBAGAI SEGI (ASPEK) KEBUDAYAAN
Penyelidikan van Vollenhoven serta sarjana-sarjana lain membuktikan bahwa wilayah hukum adat Indonesia itu tidak hanya terbatas pada wilayah Republik Indonesia, akan tetapi sampai pada kepulauan Nusantara kita. Hukum adat Indonesia tidak saja bersemayam dalam perasaan hati nurani orang Indonesia yang menjadi warga-warga (Republik) Indonesia (staatsrechtelijk Indonesier) di segala penjuru Nusantara kita, tetapi juga tersebar dan memencar sampai di gugusan kcpulauan Filipina dan Taiwan di sebelah utara, yaitu Pulau Malagasi (Madagaskar) di sebelah Barat Lautan Hindia dekat pantai Afrika, dan berbatas di sebelah Timur sampai dekat Amerika Selatan di kepulauan Pass, dianut dan dipertahankan oleh orang Indonesia yang termasuk golongan ethnologisch lndonesier.
Di mana ada masyarakat, di sana ada hukum (adat). Inilah suatu kenyataan umum, di seluruh dunia. Tidakkah Cicero lebih kurang 2000 tahun yang lalu telah mengikrarkan dalam bahasanya, yaitu dalam bahasa latin, kata-kata yang tahan zaman: ubi societas, ibi ius. Dalam zaman modern, kenyataan ini ditegaskan dengan penuh keyakinan oleh mazab Ethnologische Jurisprudenz, pelopornya, yaitu A.H. Post mengikrarkan dalam bahasa Jerman, kalimat: Es gibt kein Volk der Erde, welches nicht die Anfange eines Rechtes besasse, Van Apeldoorn mengulangi kata-kata Post itu dalam bahasanya sendiri: Recht is er over de gehele wereld, averal waar een samenleving van mensen is.
Seperti halnya dengan semua sistem hukum dibagian lain di dunia, maka hukum adat itu senantiasa tumbuh dari sesuatu kebutuhan hidup yang nyata, cara bidup dan pandagan hidup, yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat berlaku. Tidak mungkin suatu hukum tertentu yang asing bagi masyarakat itu dipaksakan atau dibuat, apabila hukum tertentu yang asing itu bertentangan dengan kemauan orang terbanyak dalam masyarakat yang bersangkutan atau tidak mencukupi rasa keadilan rakyat yang bersangkutan, pendeknya: bertentangan dengan kebudayaan rakyat yang bersangkutan.
Jadi, kita tidak boleh meninjau hukum adat Indonesia terlepas dari apa yang dinamakan von Savigny, Volksgeist, geestesstructuur, grondstructuur masyarakat Indonesia, dari sudut cara berpikir yang khas orang Indonesia yang terjelma dalam hukum adat itu. Kita juga tidak boleh lupa struktur rohaniah masyarakat Indonesia yang bersangkutan.
Tetapi tidak semua perubahan dalam jiwa dan struktur masyarakat merupakan perubahan fundamental, yang melahirkan suatu jiwa dan struktur yang baru masyarakat itu. Masyarakat adalah sesuatu yang kontinu. Masyarakat berubah, tetapi tidak dengan meninggalkan sekaligus nilai-nilai yang lama. Melainkan, walau ada perubahan, masih juga beberapa hal-hal yang lama diteruskan. Karl Mannheim berkata: "We must not overshoot the fact that even in so•called revolutionary periods the old and the new are blended". Jadi, dalam suatu masyarakat terdapatlah realitas bahwa sesuatu proses perkembangan] mengatur kembali yang lama dan menghasilkan sintese dari yang lama dan yang baru sesuai dengan kehendak, kebutuhan, cara hidup dan pandangan hidup suatu rakyat. Mengenai perkembangan hukum, perubahan dari yang lama dan lahirnya yang baru, sintese dari yang lama dan yang baru, dari zaman ke zaman, von Savigny pernah mengatakan bahwa perkembangan hukum itu bagi rakyat yang bersangkutan adalah das leben der Nation selbst.
Dr. Holleman, dalam pidato inaugurasinya yang berjudul De Commune trek in Indonesische rechtsieven, menyimpulkan adanya empat sifat umum hukum adat Indonesia, yang hendaknya dipandang juga sebagai suatu kesatuan. yaitu sifat religio-magis., sifat komun, sifat contant dan sifat konkret.
"Religio-magis" itu sebenarnya adalah pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur beberapa sifat atau cara berpikir seperti prelogis, animisme, pantangan, ilmu gaib, dan lain-lain. Koentjaraningrat dalam tesisnya menulis bahwa alam pikiran religio-magis itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus, roh-roh dan hantu-hantu yang menempati seluruh alam semesta dan khusus.
b. gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh manusia dan benda- benda;
c. kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta dan khusus terdapat dalam peristiwa-peristiwa yang luar biasa, binatang yang luar biasa, tumbuh-tumbuhan yang luar biasa, tubuh manusia yang luar biasa, benda-benda yang luar biasa dan suara yang luar biasa;
d. anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan sebagai magische kracht dalam berbagai perbuatan••perbuatan ilmu gaib untuk mencapai kemauan manusia atau untuk menolak bahaya gaib;
e. anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan keadaan krisis, menyebabkan timhulnya berbagai macam bahaya yang hanya dapat dihindari dengan berbagai macam pantangan.
Holleman, yang pendapatnya dikutip oleh Koentjaraningrat mengemukakan, bahwa sifat komunal (commune trek) _ dalam hukum adapt berarti bahwa kepentingan individu dalam hukum adat selalu diimbangi oleh kepentingan umum, bahwa hak-hak individu dalam hukum adat diimbangi oleh hak-hak umum. Dengan mentalitas itu, segal a penilaian, pembuatan keputusan dan t:ekanan dalam
Sifat contant, yaitu sifat tunai yang mengandung pengertian bahwa dengan suatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga, dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh adat.
Cara berfikir yang keempat yaitu sifat kongkret yaitu bahwa dalam alam berpikir yang tertentu senantiasa dicoba dan dlsahakan supaya hal-hal yang dimaksud, diingini, dikehendaki atau akan dikerjakan, ditransformasikan atau di beri wujud sesuatu benda, di beri tanda yang kelihatan, baik berupa langsung maupun hanya menyerupai objek yang dikehendaki (simbol, benda yang magis, dan lain-Iain).
Oleh Ter Haar dalam karangan Halverwege de nieuwe adatrechtpolitiek, yang ditulisnya pada tahun 1939, dibuat suatu penjumlahan (opsomming) sebagai berikut :
Peradilan adat di daerah yang secara langsung diperintah (inheemse rechtspraak in rechtstreeks bestuurd gebied) diberi beberapa aturan-aturan dasar (basis-regelingen) dalam ordonansi tertanggal 18 Februari 1932, yang diundangkan dalam Ind. Stbl. nr. 80 Regeling van de inheemsche rechtspraak in rechtstreeks bestuurd gebied dan peraturan-peraturan penyelenggaraannya (uitvoeringsregelingen) dibuat oleh residen setempat.
Peradilan swapraja diberi beberapa aturan-aturan dasar dalam Zelfbestuursregelen 1938, yang diundangkan dalam Ind. Stbl. nr. 529, dalam Lang Contract dan dalan peraturan-peraturan daerah swapraja yang bersangkutan serta peraturan-peraturan yang dibuat oleh residen setempat.
Hakim desa (dorpsrechter) diberi pengakuan perundang-undangan (wettelijke erkenning) dalam Ind. Stbl. 1935 nr. 102, yang menyisipkan Pasal 3a dalam RO.
Di samping aktivitas dalam bidang legislatif, oleh pemerintah Hindia-Belanda diadakan pula penyelidikan tentang hukum adat di bcberapa daerah, yang hasilnya dipublikasi dalam laporan. Karena penyelidikan tentang hukum adat ini diasuh oleh pemerintah, maka ter Haar menyebut publikasi hasil penyelidikan tentang hukum adat tersebut suatu regeringsdaad.
VII
Pada zaman sesudah Perang Dunia II, terutama pada zaman revolusi fisik antara tahun 1945 dan tahun 1950 dan pada beberapa tahun pertama sesudah tahun 1950 itu yaitu pada zaman yang diperlukan untuk mengkonsolidasi segala yang telah diperoleh sebagai hasil revolusi tisik antara talun 1945 dan tahun 1950, kegiatan menyelidiki dan rnempelajari hukum adat sangat berkurang dibandingkan dengan kegiatan yang ada di zaman sebelum Perang Dunia II.
Konsepsi Prof. Mr. Dr. Soepomo yang diumumkannya dalam pidato dies natalias pertama Universitas Gajahmada Yogyakalia pada tanggaI 17 Maret 1947. Dari karangan Utrecht tentang Resepsi hukum Belanda (Dalam sejarah dan pada waktu sekarang) yang mengadakan peninjauan atas konsepsi Prof. Soepomo itu,.
Oleh Soepomo dalam pidato dies yang telah menjadi termasyhur itu, dikemukakan antara lain:
I. berdasarkan: a.) perubahan•perubahan yang dimaksudlkan oleh pelopor-pelopor revolusi kita, ialah terlaksanakannya satu negara merdeka, yang mempunyai susunan serta alat-alat modern, seperti bentuk susunannya para negara demokratis modern di dunia Barat, setia terbentuknya suatu masyarakat yang mempunyai susunan serta alat-alat ekonomi modern. Juga segala golongan menghendaki tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk memodernisir negara dan masyarakat Indonesia kita membutuhkan tata hukum baru yang memenuhi segala kebutuhan hukum yang timbul daripada kehidupan modern itu, b.) hal untuk kehormatan negara kita di dalam dunia internasional, kita harus mempunyai tata hukum yang kualitasnya adalah sejajar dengan tata hukum dari Negara-negara yang beradab, c.) hal susunan ekonomi baru, cita-cita industrialisasi, perhubungan dagang dengan luar dan sebagainya akan meminta terbentuknya hukum-sipil di negara kita, yang sesuai dengan hukum sipil di negara-negara modern. Juga revolusi sosial yang sedang berjalan di negeri ini, yang menghendaki perbaikan kehidupan kaum buruh dan kaum tani meminta pula dibentuk hukum pekerja serta hukum pertanian baru yang sesuai dengan cita-cita keadilan sosial untuk seluruh- rakyat, dan d.) dengan tetap berdirinya Indonesia sebagai negara yang merdeka, dengan kembalinya kedaulatan negara kepada bangsa Indonesia, maka bangsa kita, yang sekarang dapat menentukan nasibnya menurut kemauannya sendiri, dengan penuh kemerdekaan akan dapat menetapkan bagaimana akan dipakai 100% kepentingan negara dan bangsa kita sendiri.
II. Maka dari itu berhubung dengan perubahan di daIam kedudukan bangsa Indonesia ini, (maka) bukan lagi konkordansi dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda akan menjadi pusat perhatian Pemerintah Indonesia, bahkan sebaliknya, bagaimana akan hukum bangsa Indonesia dihari kemudian, berhubung dengan cita-cita bangsa Indonesia dihari kemudian, berhubung dengan cita-cita kita untuk hiclup bergaul dengan bangsa••bangsa merdeka lain atas dasar persamaan didalam dunia internasional, yang menjadi soal pertama.
III. tetapi untuk kcpentingan-kepentingan masyarakat yang rnendesak itu, kita tidak dapat menunggu akan tumbuhnya hukum adat baru, bahkan kila harus campur tangan dalam kecerdasan masyarakat dengan segera membentuk kodifikasi, yang memuat hukum modern yang dibutuhkan;
IV. dan kodifikasi itu sebanyak-banyaknya harus bersifat satu unifikasi, karena alangkah baiknya jika kita dapat mempunyai suatu kesatuan hukun sipil modern untuk segala golongan •warga•negara dari bangsa apapun, suatu sistem hukum yang mcmenuhi segala aliran yang modern didunia.
V. selanjutnja unifikasi itu terutama dalam hukum kekayaan bahkan di dalam lapangan kontrak, lapangan pekerja dan lapangan pertanian, kita harus mendorong rakyat Indonesia ke arah hukum baru, yang berasal dari dunia luar dan yang akan dibuat bedaku untuk segala golongan dan bangsa apapun. Yang menjadi cerminnya ialah kodifikasi modern negeri Swis, sebagai telah dianjurkan juga oleh van Vollenhoven (Adatrecht, II, hal 866);
VI. akhirnya hukum adat masih tetap akan meminta perhatian para pembangun negara kita, baik untuk memberi bahan-bahan di dalam pembentukan kodifikasi, maupun untuk langsung dipakai di dalam lapangan yang belum mungkin dikodifisir, bahkan dimana telah dapat diadakan kodifikasi, hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang tidak tertulis akan tetap menjadi sumber dari hukum baru dalam hal-hal yang tidak atau belum ditetapkan dengan undang-undang.
Inti anggapan Prof. Soepomo ialah sudah scmestinya masyarakat dan negara Indonesia menjadi masyarakat yang modern. Hukum modern itu bukan hukum Belanda tetapi hukum yang memuat asas-asas modern universal.
Sebagai pelaksanaan Landreform dan Landuse, maka pada tahun-tahun 1960 dan 1961 dibuat peraturan-peraturan perundang-undangan yang melahirkan suatu rezim hukum tanah baru yang mengganti rezim hukum tanah lama yang berdasarkan perundang-undangan agraria tahun 1870, undang-undang dan rangkaian peraturan-peraturan baru itu adalah:
1. Undang-undang tabun 1960 nr. 2, LN nr 2, tentang Perjanjian Bagi-Hasil
2. Keputusan Menteri Muda Agraria nr Sk. 322 Ka 1960 tentang Pelaksanaan Undang-undang No.2 Tahun 1960, dimuat dalam Tambahan LN nr 1935
3. lnstruksi bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria terangga128 Oktober 1960.
4. Undang--undang tahun 1960 nr 5, LN nr 104, tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria -- terkenal sebagai Undang-undang Pokok Agraria.
5. Peraturan Menteri Agraria tahun 1960 nr 2 tentang Pelaksanaan beberapa ketentuan Undang-undang Pokok Agraria, dimuat dalam Tambahan LN nr 2086.
6. Peraturan Menteri Agraria tahun 1960 nr 5 tentang Penambahan ketentuan Peraturan Menteri Agraria No. 2/1960, dimuat dalam Tambahan LN nr.
7. Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang tahun 1960 nr 56, LN nr 174, tentang Penetapan luas tanah-pertanian
8. Keputusan Menteri Agraria nr Sk. 978 Ka 1960 tentang Penegasan luas maksimum tanah pertanian", yang disampaikan kepada semua Gubernur Kepala Daerah, semua Bupati Walikota Kepala Daerah dan semua penjabat-penjabat Agraria dalam Instruksi bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria tertanggal 5 Januari 1961.
9. Peraturan Pemerintah tahun 1961 nr 10, LN nr 28, tentang Pendaftaran tanah.
10. Keputusan Menteri Agraria nr Sk. 115 Ka 61 tentang Memperpanjang jangka waktu pendaftaran.
11. Keputusan Menteri Agraria nr Sk. 113 Ka 61 tentang Panita-panitia pemeriksaan tanah.
12. Keputusan Presiden tahun 1961 nr 131 tentang Organisasi penyelenggaraan Landreform.
Di mana ada masyarakat, di sana ada hukum (adat). Inilah suatu kenyataan umum, di seluruh dunia. Tidakkah Cicero lebih kurang 2000 tahun yang lalu telah mengikrarkan dalam bahasanya, yaitu dalam bahasa latin, kata-kata yang tahan zaman: ubi societas, ibi ius. Dalam zaman modern, kenyataan ini ditegaskan dengan penuh keyakinan oleh mazab Ethnologische Jurisprudenz, pelopornya, yaitu A.H. Post mengikrarkan dalam bahasa Jerman, kalimat: Es gibt kein Volk der Erde, welches nicht die Anfange eines Rechtes besasse, Van Apeldoorn mengulangi kata-kata Post itu dalam bahasanya sendiri: Recht is er over de gehele wereld, averal waar een samenleving van mensen is.
Seperti halnya dengan semua sistem hukum dibagian lain di dunia, maka hukum adat itu senantiasa tumbuh dari sesuatu kebutuhan hidup yang nyata, cara bidup dan pandagan hidup, yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat berlaku. Tidak mungkin suatu hukum tertentu yang asing bagi masyarakat itu dipaksakan atau dibuat, apabila hukum tertentu yang asing itu bertentangan dengan kemauan orang terbanyak dalam masyarakat yang bersangkutan atau tidak mencukupi rasa keadilan rakyat yang bersangkutan, pendeknya: bertentangan dengan kebudayaan rakyat yang bersangkutan.
Jadi, kita tidak boleh meninjau hukum adat Indonesia terlepas dari apa yang dinamakan von Savigny, Volksgeist, geestesstructuur, grondstructuur masyarakat Indonesia, dari sudut cara berpikir yang khas orang Indonesia yang terjelma dalam hukum adat itu. Kita juga tidak boleh lupa struktur rohaniah masyarakat Indonesia yang bersangkutan.
Tetapi tidak semua perubahan dalam jiwa dan struktur masyarakat merupakan perubahan fundamental, yang melahirkan suatu jiwa dan struktur yang baru masyarakat itu. Masyarakat adalah sesuatu yang kontinu. Masyarakat berubah, tetapi tidak dengan meninggalkan sekaligus nilai-nilai yang lama. Melainkan, walau ada perubahan, masih juga beberapa hal-hal yang lama diteruskan. Karl Mannheim berkata: "We must not overshoot the fact that even in so•called revolutionary periods the old and the new are blended". Jadi, dalam suatu masyarakat terdapatlah realitas bahwa sesuatu proses perkembangan] mengatur kembali yang lama dan menghasilkan sintese dari yang lama dan yang baru sesuai dengan kehendak, kebutuhan, cara hidup dan pandangan hidup suatu rakyat. Mengenai perkembangan hukum, perubahan dari yang lama dan lahirnya yang baru, sintese dari yang lama dan yang baru, dari zaman ke zaman, von Savigny pernah mengatakan bahwa perkembangan hukum itu bagi rakyat yang bersangkutan adalah das leben der Nation selbst.
Dr. Holleman, dalam pidato inaugurasinya yang berjudul De Commune trek in Indonesische rechtsieven, menyimpulkan adanya empat sifat umum hukum adat Indonesia, yang hendaknya dipandang juga sebagai suatu kesatuan. yaitu sifat religio-magis., sifat komun, sifat contant dan sifat konkret.
"Religio-magis" itu sebenarnya adalah pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur beberapa sifat atau cara berpikir seperti prelogis, animisme, pantangan, ilmu gaib, dan lain-lain. Koentjaraningrat dalam tesisnya menulis bahwa alam pikiran religio-magis itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus, roh-roh dan hantu-hantu yang menempati seluruh alam semesta dan khusus.
b. gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh manusia dan benda- benda;
c. kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta dan khusus terdapat dalam peristiwa-peristiwa yang luar biasa, binatang yang luar biasa, tumbuh-tumbuhan yang luar biasa, tubuh manusia yang luar biasa, benda-benda yang luar biasa dan suara yang luar biasa;
d. anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan sebagai magische kracht dalam berbagai perbuatan••perbuatan ilmu gaib untuk mencapai kemauan manusia atau untuk menolak bahaya gaib;
e. anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan keadaan krisis, menyebabkan timhulnya berbagai macam bahaya yang hanya dapat dihindari dengan berbagai macam pantangan.
Holleman, yang pendapatnya dikutip oleh Koentjaraningrat mengemukakan, bahwa sifat komunal (commune trek) _ dalam hukum adapt berarti bahwa kepentingan individu dalam hukum adat selalu diimbangi oleh kepentingan umum, bahwa hak-hak individu dalam hukum adat diimbangi oleh hak-hak umum. Dengan mentalitas itu, segal a penilaian, pembuatan keputusan dan t:ekanan dalam
Sifat contant, yaitu sifat tunai yang mengandung pengertian bahwa dengan suatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga, dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh adat.
Cara berfikir yang keempat yaitu sifat kongkret yaitu bahwa dalam alam berpikir yang tertentu senantiasa dicoba dan dlsahakan supaya hal-hal yang dimaksud, diingini, dikehendaki atau akan dikerjakan, ditransformasikan atau di beri wujud sesuatu benda, di beri tanda yang kelihatan, baik berupa langsung maupun hanya menyerupai objek yang dikehendaki (simbol, benda yang magis, dan lain-Iain).
Oleh Ter Haar dalam karangan Halverwege de nieuwe adatrechtpolitiek, yang ditulisnya pada tahun 1939, dibuat suatu penjumlahan (opsomming) sebagai berikut :
Peradilan adat di daerah yang secara langsung diperintah (inheemse rechtspraak in rechtstreeks bestuurd gebied) diberi beberapa aturan-aturan dasar (basis-regelingen) dalam ordonansi tertanggal 18 Februari 1932, yang diundangkan dalam Ind. Stbl. nr. 80 Regeling van de inheemsche rechtspraak in rechtstreeks bestuurd gebied dan peraturan-peraturan penyelenggaraannya (uitvoeringsregelingen) dibuat oleh residen setempat.
Peradilan swapraja diberi beberapa aturan-aturan dasar dalam Zelfbestuursregelen 1938, yang diundangkan dalam Ind. Stbl. nr. 529, dalam Lang Contract dan dalan peraturan-peraturan daerah swapraja yang bersangkutan serta peraturan-peraturan yang dibuat oleh residen setempat.
Hakim desa (dorpsrechter) diberi pengakuan perundang-undangan (wettelijke erkenning) dalam Ind. Stbl. 1935 nr. 102, yang menyisipkan Pasal 3a dalam RO.
Di samping aktivitas dalam bidang legislatif, oleh pemerintah Hindia-Belanda diadakan pula penyelidikan tentang hukum adat di bcberapa daerah, yang hasilnya dipublikasi dalam laporan. Karena penyelidikan tentang hukum adat ini diasuh oleh pemerintah, maka ter Haar menyebut publikasi hasil penyelidikan tentang hukum adat tersebut suatu regeringsdaad.
VII
Pada zaman sesudah Perang Dunia II, terutama pada zaman revolusi fisik antara tahun 1945 dan tahun 1950 dan pada beberapa tahun pertama sesudah tahun 1950 itu yaitu pada zaman yang diperlukan untuk mengkonsolidasi segala yang telah diperoleh sebagai hasil revolusi tisik antara talun 1945 dan tahun 1950, kegiatan menyelidiki dan rnempelajari hukum adat sangat berkurang dibandingkan dengan kegiatan yang ada di zaman sebelum Perang Dunia II.
Konsepsi Prof. Mr. Dr. Soepomo yang diumumkannya dalam pidato dies natalias pertama Universitas Gajahmada Yogyakalia pada tanggaI 17 Maret 1947. Dari karangan Utrecht tentang Resepsi hukum Belanda (Dalam sejarah dan pada waktu sekarang) yang mengadakan peninjauan atas konsepsi Prof. Soepomo itu,.
Oleh Soepomo dalam pidato dies yang telah menjadi termasyhur itu, dikemukakan antara lain:
I. berdasarkan: a.) perubahan•perubahan yang dimaksudlkan oleh pelopor-pelopor revolusi kita, ialah terlaksanakannya satu negara merdeka, yang mempunyai susunan serta alat-alat modern, seperti bentuk susunannya para negara demokratis modern di dunia Barat, setia terbentuknya suatu masyarakat yang mempunyai susunan serta alat-alat ekonomi modern. Juga segala golongan menghendaki tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk memodernisir negara dan masyarakat Indonesia kita membutuhkan tata hukum baru yang memenuhi segala kebutuhan hukum yang timbul daripada kehidupan modern itu, b.) hal untuk kehormatan negara kita di dalam dunia internasional, kita harus mempunyai tata hukum yang kualitasnya adalah sejajar dengan tata hukum dari Negara-negara yang beradab, c.) hal susunan ekonomi baru, cita-cita industrialisasi, perhubungan dagang dengan luar dan sebagainya akan meminta terbentuknya hukum-sipil di negara kita, yang sesuai dengan hukum sipil di negara-negara modern. Juga revolusi sosial yang sedang berjalan di negeri ini, yang menghendaki perbaikan kehidupan kaum buruh dan kaum tani meminta pula dibentuk hukum pekerja serta hukum pertanian baru yang sesuai dengan cita-cita keadilan sosial untuk seluruh- rakyat, dan d.) dengan tetap berdirinya Indonesia sebagai negara yang merdeka, dengan kembalinya kedaulatan negara kepada bangsa Indonesia, maka bangsa kita, yang sekarang dapat menentukan nasibnya menurut kemauannya sendiri, dengan penuh kemerdekaan akan dapat menetapkan bagaimana akan dipakai 100% kepentingan negara dan bangsa kita sendiri.
II. Maka dari itu berhubung dengan perubahan di daIam kedudukan bangsa Indonesia ini, (maka) bukan lagi konkordansi dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda akan menjadi pusat perhatian Pemerintah Indonesia, bahkan sebaliknya, bagaimana akan hukum bangsa Indonesia dihari kemudian, berhubung dengan cita-cita bangsa Indonesia dihari kemudian, berhubung dengan cita-cita kita untuk hiclup bergaul dengan bangsa••bangsa merdeka lain atas dasar persamaan didalam dunia internasional, yang menjadi soal pertama.
III. tetapi untuk kcpentingan-kepentingan masyarakat yang rnendesak itu, kita tidak dapat menunggu akan tumbuhnya hukum adat baru, bahkan kila harus campur tangan dalam kecerdasan masyarakat dengan segera membentuk kodifikasi, yang memuat hukum modern yang dibutuhkan;
IV. dan kodifikasi itu sebanyak-banyaknya harus bersifat satu unifikasi, karena alangkah baiknya jika kita dapat mempunyai suatu kesatuan hukun sipil modern untuk segala golongan •warga•negara dari bangsa apapun, suatu sistem hukum yang mcmenuhi segala aliran yang modern didunia.
V. selanjutnja unifikasi itu terutama dalam hukum kekayaan bahkan di dalam lapangan kontrak, lapangan pekerja dan lapangan pertanian, kita harus mendorong rakyat Indonesia ke arah hukum baru, yang berasal dari dunia luar dan yang akan dibuat bedaku untuk segala golongan dan bangsa apapun. Yang menjadi cerminnya ialah kodifikasi modern negeri Swis, sebagai telah dianjurkan juga oleh van Vollenhoven (Adatrecht, II, hal 866);
VI. akhirnya hukum adat masih tetap akan meminta perhatian para pembangun negara kita, baik untuk memberi bahan-bahan di dalam pembentukan kodifikasi, maupun untuk langsung dipakai di dalam lapangan yang belum mungkin dikodifisir, bahkan dimana telah dapat diadakan kodifikasi, hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang tidak tertulis akan tetap menjadi sumber dari hukum baru dalam hal-hal yang tidak atau belum ditetapkan dengan undang-undang.
Inti anggapan Prof. Soepomo ialah sudah scmestinya masyarakat dan negara Indonesia menjadi masyarakat yang modern. Hukum modern itu bukan hukum Belanda tetapi hukum yang memuat asas-asas modern universal.
Sebagai pelaksanaan Landreform dan Landuse, maka pada tahun-tahun 1960 dan 1961 dibuat peraturan-peraturan perundang-undangan yang melahirkan suatu rezim hukum tanah baru yang mengganti rezim hukum tanah lama yang berdasarkan perundang-undangan agraria tahun 1870, undang-undang dan rangkaian peraturan-peraturan baru itu adalah:
1. Undang-undang tabun 1960 nr. 2, LN nr 2, tentang Perjanjian Bagi-Hasil
2. Keputusan Menteri Muda Agraria nr Sk. 322 Ka 1960 tentang Pelaksanaan Undang-undang No.2 Tahun 1960, dimuat dalam Tambahan LN nr 1935
3. lnstruksi bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria terangga128 Oktober 1960.
4. Undang--undang tahun 1960 nr 5, LN nr 104, tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria -- terkenal sebagai Undang-undang Pokok Agraria.
5. Peraturan Menteri Agraria tahun 1960 nr 2 tentang Pelaksanaan beberapa ketentuan Undang-undang Pokok Agraria, dimuat dalam Tambahan LN nr 2086.
6. Peraturan Menteri Agraria tahun 1960 nr 5 tentang Penambahan ketentuan Peraturan Menteri Agraria No. 2/1960, dimuat dalam Tambahan LN nr.
7. Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang tahun 1960 nr 56, LN nr 174, tentang Penetapan luas tanah-pertanian
8. Keputusan Menteri Agraria nr Sk. 978 Ka 1960 tentang Penegasan luas maksimum tanah pertanian", yang disampaikan kepada semua Gubernur Kepala Daerah, semua Bupati Walikota Kepala Daerah dan semua penjabat-penjabat Agraria dalam Instruksi bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria tertanggal 5 Januari 1961.
9. Peraturan Pemerintah tahun 1961 nr 10, LN nr 28, tentang Pendaftaran tanah.
10. Keputusan Menteri Agraria nr Sk. 115 Ka 61 tentang Memperpanjang jangka waktu pendaftaran.
11. Keputusan Menteri Agraria nr Sk. 113 Ka 61 tentang Panita-panitia pemeriksaan tanah.
12. Keputusan Presiden tahun 1961 nr 131 tentang Organisasi penyelenggaraan Landreform.
DASAR PERUNDANG-UNDANGAN BERLAKUNYA HUKUM ADAT
Dalam Undang-Undang Dasar (UUD tahun 1945, yang diberlakukan kembali menurut Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959) tiada satu pasalpun yang memuat dasar (perundang-undangan) berlakunya hukum adat itu. Menurut Pasal 11 Aturan Peralihan UUD maka "Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini".
Sebelum berlakunya kembali UUD ini, maka berlaku Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950. Dalam Undang-Undang Dasar sementara itu Pasal 104 ayat 1 mengatakan bahwa "Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan undang-undang dam aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu. "Tetapii ketentuan ini, yang jikalau kita mengartikan "hukum adat" itu seluas-Iuasnya, memuat suatu grondwettelijke grondslag (dasar konstitusional) berlakunya hukum adat, sampai sekarang belum diberikan dasar hukum penyelenggaraannya (Undang-Undang organik).
Dasar perundang-undangan berlakunya hukum adat, yang berasal darii zaman kolonial dan yang pada zaman sekarang masih tetap berlaku, adalah Pasal 131 ayat 2 sub b IS. Menurut ketentuan tersebut, maka bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan hukum timur asing berlaku hukum adat mereka. Tetapi bilamana keperluan sosial mereka memerlukanya, maka pembuat ordonansi dapat menentukan bagi mereka:
a. hukum Eropa
b. hukum Eropa yang telah diubah (gewijzigd Europees recht)
c. hukum bagi beberapa golongan bersama-sama (gemeenschappelijkrecht), dan apabila kepentingan umum memerlukannya:
d. hukum baru (nieuw recht), yaitu hukum yang merupakan "syntese” antara hukum adat dan hukum Eropa ("fantasierecht" van Vollen hoven atau "ambtenarenrecht" van Idsinga)
Mengenai Pasal 131 ayat 2 sub b IS ini, harus dikemukakan dua hal, Pertama, ketentuan tersebut adalah suatu pasal kodifikasi (codificatie-artikel), yaitu ketentuan tersebut memuat suatu tugas kepada pembuat undang-undang. Tetapi hal kedua, selama redaksi Pasal 131 ayat 2 sub b IS ini berlaku redaksi ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1920 (antara tanggal 1 januari 1920 dan tanggal 1 Januari 1926 redaksi Pasal 131 IS berlaku sebagai redaksi yang baru dari Pasal 75 RR 1854), maka kodifikasi yang diperintahkan kepada pembuat ordonansi itu belum terjadi.
Pasal 131 ayat 6 IS menerangkan bahwa selama hukum perdata serta hukum dagang yang sekarang "thans" berlaku bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan hukum timur asing belum diganti dengan suatu kodifikasi. seperti yang diperintahkan dalam Pasal 131 ayat 2 sub b IS, maka hukum tersebut berlaku bagi kedua golongan hukum itu. Jadi, selama belum ada kodifikasi bagi kedua golongan hukum itu, maka tetap berlaku hukum adatnya, seperti yang sebelum tanggal 1 Januari 1920, telah ditentukan oleh Pasal 75 ayat 3 redaksi lama RR 1854.
Inilah penafsiran kata "thans" -- "sekarang", menurut artinya dalam bahasa "Thans berarti "pada waktu ini", yaitu waktu mulai berlakunya perubahan redaksi lama Pasal 75 RR 1854 sehingga menjadi redaksi baru Pasal tersebut (sehingga menjadi redaksi Pasal 131 IS).
Mengenai hukum adat itu antara Pasal 75 redaksi lama RR 1854 dan Pasal 131 IS (= Pasal 75 redaksi baru RR 1854) ada beberapa perbedaan yang penting.
1. Satu perbudaan yang penting tersebut di atas, yaitu Pasal 75 redaksi lama RR 1854 ditujukan kcpada hakim sedangkan Pasal 131 IS ditujukan kepada pembuat undang-undang.
2. Perbedaan kedua, adalah Pasal 75 redaksi lama RR 1854 tidak memuat kemungkinan orang Indonesia asli ditundukan pada suatu hukum baru.
3. Perbedaan ketiga, adalah hukum adat tidak boleh dijalankan apabila bertentangan dengan "asas-asas keadilan" (ayat 3 Pasal 75 redaksi lama RR 1854) dan apabila hukum adat tidak dapat menyelesaikan perkara, maka hakim. dapat rnenyelesaikannya menurut asas-asas hukum Eropa (ayat 6 Pasal 75 redaksi lama RR 1854).
Para sarjana hukum yang beranggapan bahwa (setelah tahun 1919) hakim berkuasa menguji dan menambah hukum adat ialah Capentieir Ailing, Nederburgh, Andre de In porte dan juga Djojodigoeno (?). tetapi mereka inii mendapat tantangan dari banyak pengarang lain, yaitu van Vollenhoven, ter' Haar, Klientjes, Logemann, Soepomo.
Yang menjadi alasan van Vollenhoven bahwa hakim setelah tahun 1919 tidak lagi berkuasa menguji dan menambah hukum adat, ialah:
1. sejarah penetapan perubahan Pasal 75 redaksi lama R.R. 1854 tidak mengatakan apa-apa tentang meneruskan tidaknya dua kekuasaan tersebut.
2. redaksi ayat 6 Pasal 131 I.S. memuat tugas baik bagi hakim maupun bagi administrasi (tata usaha) negara. Oleh karena kepada Administrasi negara tiidak diberi kekuasaan untuk menguji dan menambah hukum adat, maka tidak boleh dikatakan bahwa dengan sendirinya kekuasaan itu diberi kepada hakim.
3. sejarah praktek kekuasaan itu telah menunjukkan kepada kita bahwa kekuasaan tersebut dijalankan oleh hakim secara tidak sesuai dengan tujuannya. Sebab itu kekuasaan istimewa tersebut sungguh-sungguh tidak perlu lagi.
Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Darurat tahun 1951 nr 1, LN 1951 nr 9, menentukan bahwa "pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapuskan:
1. segala pengadilan Swapraja dalam Negara Sumatra Timur dahulu, Keresidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu, kecuali peradilan agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Swapraja.
2. Segala Pengadilan Adat (Inheemse rechtspraak in rechtsteeks bestuurd gebied), kecuali peradilan agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan adat.
Tetapi menurut Pasal 1 ayat 3 LN 1951 nr 9 ini, dorpsrechter tetap dipertahankan. Peradilan yang dilakukan oleh hakim swapraja dan hakim adat yang telah dihapuskan itu, diteruskan oleh Pengadilan Negeri.
Daerah-daerah di mana hakim swapraja dan hakim adat itu telah dihapuskan, adalah beberapa lagi: Bali (hakim swapraja, Tambahan LN nr. 231), Sulawesi (hakim swapraja maupun hakim adat, Tambahan LN nr 276), Lombok (hakim adat, Tambahan LN nr 462), Sumbawa, Sumba, Flores dan Timor (hakim swapraja, Tambahan LN nr 603) dan Kalimantan (hakim swapraja maupun hakim adat, Tambahan LN nr 642).
Sebelum berlakunya kembali UUD ini, maka berlaku Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950. Dalam Undang-Undang Dasar sementara itu Pasal 104 ayat 1 mengatakan bahwa "Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan undang-undang dam aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu. "Tetapii ketentuan ini, yang jikalau kita mengartikan "hukum adat" itu seluas-Iuasnya, memuat suatu grondwettelijke grondslag (dasar konstitusional) berlakunya hukum adat, sampai sekarang belum diberikan dasar hukum penyelenggaraannya (Undang-Undang organik).
Dasar perundang-undangan berlakunya hukum adat, yang berasal darii zaman kolonial dan yang pada zaman sekarang masih tetap berlaku, adalah Pasal 131 ayat 2 sub b IS. Menurut ketentuan tersebut, maka bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan hukum timur asing berlaku hukum adat mereka. Tetapi bilamana keperluan sosial mereka memerlukanya, maka pembuat ordonansi dapat menentukan bagi mereka:
a. hukum Eropa
b. hukum Eropa yang telah diubah (gewijzigd Europees recht)
c. hukum bagi beberapa golongan bersama-sama (gemeenschappelijkrecht), dan apabila kepentingan umum memerlukannya:
d. hukum baru (nieuw recht), yaitu hukum yang merupakan "syntese” antara hukum adat dan hukum Eropa ("fantasierecht" van Vollen hoven atau "ambtenarenrecht" van Idsinga)
Mengenai Pasal 131 ayat 2 sub b IS ini, harus dikemukakan dua hal, Pertama, ketentuan tersebut adalah suatu pasal kodifikasi (codificatie-artikel), yaitu ketentuan tersebut memuat suatu tugas kepada pembuat undang-undang. Tetapi hal kedua, selama redaksi Pasal 131 ayat 2 sub b IS ini berlaku redaksi ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1920 (antara tanggal 1 januari 1920 dan tanggal 1 Januari 1926 redaksi Pasal 131 IS berlaku sebagai redaksi yang baru dari Pasal 75 RR 1854), maka kodifikasi yang diperintahkan kepada pembuat ordonansi itu belum terjadi.
Pasal 131 ayat 6 IS menerangkan bahwa selama hukum perdata serta hukum dagang yang sekarang "thans" berlaku bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan hukum timur asing belum diganti dengan suatu kodifikasi. seperti yang diperintahkan dalam Pasal 131 ayat 2 sub b IS, maka hukum tersebut berlaku bagi kedua golongan hukum itu. Jadi, selama belum ada kodifikasi bagi kedua golongan hukum itu, maka tetap berlaku hukum adatnya, seperti yang sebelum tanggal 1 Januari 1920, telah ditentukan oleh Pasal 75 ayat 3 redaksi lama RR 1854.
Inilah penafsiran kata "thans" -- "sekarang", menurut artinya dalam bahasa "Thans berarti "pada waktu ini", yaitu waktu mulai berlakunya perubahan redaksi lama Pasal 75 RR 1854 sehingga menjadi redaksi baru Pasal tersebut (sehingga menjadi redaksi Pasal 131 IS).
Mengenai hukum adat itu antara Pasal 75 redaksi lama RR 1854 dan Pasal 131 IS (= Pasal 75 redaksi baru RR 1854) ada beberapa perbedaan yang penting.
1. Satu perbudaan yang penting tersebut di atas, yaitu Pasal 75 redaksi lama RR 1854 ditujukan kcpada hakim sedangkan Pasal 131 IS ditujukan kepada pembuat undang-undang.
2. Perbedaan kedua, adalah Pasal 75 redaksi lama RR 1854 tidak memuat kemungkinan orang Indonesia asli ditundukan pada suatu hukum baru.
3. Perbedaan ketiga, adalah hukum adat tidak boleh dijalankan apabila bertentangan dengan "asas-asas keadilan" (ayat 3 Pasal 75 redaksi lama RR 1854) dan apabila hukum adat tidak dapat menyelesaikan perkara, maka hakim. dapat rnenyelesaikannya menurut asas-asas hukum Eropa (ayat 6 Pasal 75 redaksi lama RR 1854).
Para sarjana hukum yang beranggapan bahwa (setelah tahun 1919) hakim berkuasa menguji dan menambah hukum adat ialah Capentieir Ailing, Nederburgh, Andre de In porte dan juga Djojodigoeno (?). tetapi mereka inii mendapat tantangan dari banyak pengarang lain, yaitu van Vollenhoven, ter' Haar, Klientjes, Logemann, Soepomo.
Yang menjadi alasan van Vollenhoven bahwa hakim setelah tahun 1919 tidak lagi berkuasa menguji dan menambah hukum adat, ialah:
1. sejarah penetapan perubahan Pasal 75 redaksi lama R.R. 1854 tidak mengatakan apa-apa tentang meneruskan tidaknya dua kekuasaan tersebut.
2. redaksi ayat 6 Pasal 131 I.S. memuat tugas baik bagi hakim maupun bagi administrasi (tata usaha) negara. Oleh karena kepada Administrasi negara tiidak diberi kekuasaan untuk menguji dan menambah hukum adat, maka tidak boleh dikatakan bahwa dengan sendirinya kekuasaan itu diberi kepada hakim.
3. sejarah praktek kekuasaan itu telah menunjukkan kepada kita bahwa kekuasaan tersebut dijalankan oleh hakim secara tidak sesuai dengan tujuannya. Sebab itu kekuasaan istimewa tersebut sungguh-sungguh tidak perlu lagi.
Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Darurat tahun 1951 nr 1, LN 1951 nr 9, menentukan bahwa "pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapuskan:
1. segala pengadilan Swapraja dalam Negara Sumatra Timur dahulu, Keresidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu, kecuali peradilan agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Swapraja.
2. Segala Pengadilan Adat (Inheemse rechtspraak in rechtsteeks bestuurd gebied), kecuali peradilan agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan adat.
Tetapi menurut Pasal 1 ayat 3 LN 1951 nr 9 ini, dorpsrechter tetap dipertahankan. Peradilan yang dilakukan oleh hakim swapraja dan hakim adat yang telah dihapuskan itu, diteruskan oleh Pengadilan Negeri.
Daerah-daerah di mana hakim swapraja dan hakim adat itu telah dihapuskan, adalah beberapa lagi: Bali (hakim swapraja, Tambahan LN nr. 231), Sulawesi (hakim swapraja maupun hakim adat, Tambahan LN nr 276), Lombok (hakim adat, Tambahan LN nr 462), Sumbawa, Sumba, Flores dan Timor (hakim swapraja, Tambahan LN nr 603) dan Kalimantan (hakim swapraja maupun hakim adat, Tambahan LN nr 642).
SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HUKUM ADAT
(Sejarah Penemuan Hukum Adat)
Perhatian terhadap hukum adat itu dilukiskan secara lengkap oleh Van Vollenhoven dalam buku De ontdekking van het adatrecht. Dari lukisan van Vollenhoven ini, oleh Soekanto dalam buku Meninjau hukum adat Indonesia telah dibuat suatu reproduksi yang dipersingkat.
Van Vollenhoven menulis dalam bukunya itu tentang sejarah ontdekking van het adatrecht, yakni sejarah "penemuan hukum adat". Timbul pertanyaan: siapakah yang menemukan hukum adat? Hukum adat ditemukan oleh siapa? Sudah tentu, tidak oleh rakyat sendiri. Hal itu tidak mungkin, karena dengan meminjam kata-kata von Savigny -- hukum adat itu ist Und wird mit dem Volk. Hukum adat itu ada ditengah-tengah rakyat sendiri, dirasakan oleh rakyat sendiri setiap hari. Jadi, ganjil sekali untuk mengatakan bahwa rakyat "menemukan hukum adat"!.
Siapa-siapa yang menemukan dan memperkenalkan hukum adapt itu, ditunjukkan oleh van Vollenhoven dalam bukunya tersebut, yakni sarjana-sarjana, ahli-ahli dan peminat-peminat lain terhadap hukum adat, yang justru hidup diluar Ilingkungan, masyarakat adat, apalagi 90% dari mereka itu adalah orang asing dan yang menjadi pelopor ilmu hukum adat (adatrechtswetenschap) atau pembangun ilmu hukum adat. Kita mengetahui bahwa hukum adat adalah hasil proses kemasyarakatan dan kebudayaan sejak beribu-ribu tahun yang lalu sampai sekarang, dan dalam bukunya tersebut oleh van Vollenhoven ditunjukkan siapa-siapa yang telah berjasa menyelidiki, melaporkan, menganalisa, menulis dan menyusun hukum adat Itu. van V ollenhoven memberitahukan bila sarjana-sarjana, ahli-ahli dan peminat-peminat lain terhadap hukum adat menyadan bahwa, rakyat IndoneiIa, mempunyai sekumpulan peraturan-peraturan hukum yang rnengatur tingkah laku mengatur hidup kemasyarakatan, yang menentukan serta mengikat karena mempunyai sanksi.
Dengan kata-kata lain: dalam buku van Vollenhovcn tersebut dapat kita baca bila ilmu hukum yang pada zaman kolonial di bawa ke Indonesia oleh sarjana-sarjana, ahli-ahli dan peminat-peminat lain (terhadap hukum) yang bagian terbesarnya orang Belanda - mulai memperhatikan hukurn adat dan kemudian, menemukan "ontdekken” hukum adat itu. Karena dengan ditemukannya hukum adat itu, dimulailah juga suatu riwayat sebuah cabang ilmu hukurn, yaitu dimulainya riwayat tentang ilrnu hukum adat (adatrechtswetenschap), maka dapat dikatakan bahwa dalam buku van Vollenhoven, De ontdekking van het adatrecht tersebut di atas, dilukiskan sejarah ilmu hukum adat.
Prof. Bushar berpendapat bahwa menyelidiki perkembangan hukum adat adalah suatu usaha yang jauh lebih sukar daripada menyelidiki evolusi dalam perhatian terhadap hukum tersebut. Dari manakah kita dapat mengetahui misalnya, gono-gini pada zaman Sultan Agung di Mataram, atau jual-beli pada zaman raja I Gusti Ngurah Panji Sakti di Buleleng (Pulau Bali)?
'Van Vollenhoven maupun Soekanto memberi "geschiedenis van de (adat)-rechtswetenschap" (sejarah ilmu hukum adat) dan tidak mcmberi "(adat) rechtsgeschiedenis" (sejarah hukum adat).
Pada tahun-tahun 1750, 1759, 1760 dan 1768 turut campurnya VOC dalam usaha penertiban hukum orang lndonesia asli, menghasilkan empat kodifikasi dan pencatatan hukum bagi orang indonesia asli. ialah:
1. Untuk keperluan Landraad di Semarang tahun 1750 dibuat suatu Compendium yang biasanya terkenal dengan nama singkatannya yaitu "Kitab Hukum Mogharraer" yang memuat hukum pidana Jawa, tetapi ternyata memuat hukum pidana Islam. Kodifikasi hukum ini kemudian dipublikasikan dalam majalah "Regt in Nederlandch Indie" dan oleh sebab pada tahun 1854 menjadi salah satu pokok pembicaraan dalam pembentukan RR 1854.
2. Pada tahun 1759 oleh pimpinan VOC disahkan suatu ''Compendium van Clootwijck", yang merupakan suatu pencatatan tentang hukum adat yang berlaku di kraton-kraton Bone dan Goa (di Sulawesi Selatan), yang dibuat oleh Jan Dirk van Clootwijck, yang tatkala itu menjadi "Gubernur di pesisir Selebes", dan tahun 1752 sampai tahun 1755.
3. Tahun 1760 oleh pimpinan VOC dikeluarkan suatu himpunan peraturan-peraturan hukum Islam mengenai warisan, nikah dan talak. Karena himpunan ini disusun oleh D.W. Freijer, seorang penasihat pernerinteh VOC mengenai hal-hal anak pribumi, maka orang mengenalnya dengan nama Compendium Freijer. Pencatatan hukum islam oleh Freijer ini lama dipakai, beberapa bagian dari Compendium tersebut dicabut dengan berangsur-angsur pada abad ke-19; bagian terakhir (mengenai warisan) pada tahun 1913.
4. Oleh Pieter Cornelis Hasselaer, yang pada tahun 1757 sampai tahun 1765 menjabat residen di Cirebon, direncanakan pembuatan suatu kitab hukum ada! yang akan menjadi "Suatu pegangan hukum adat bagi hakim-hakim di Cirebon. Penyelesaian pembuatan kitab hukum tersebut terjadi pada talnm 1768 dibawah
Menyadari adanya dan kemudian "menemukan" hukum adat itu dengan berangsur-angsur., terjadilah dalam abad ke-19 dan pada permulaan abad ke-20 ini, sebagai akibat diadakannya penyelidikan dan pelajaran hukum adat yang makin lama makin banyak, makin teliti dan makin sistematis.
Pada tahun 1783 oleh Marsden dipublikasikan sebuah buku yang berjudul The History of Sumatra, yang sebenarnya tidak memuat sejarah pulau tersebut, tetapi dengan meminjam istilah-istilah van Vollenhoven, membuat suatu "gambaran” atau suatu "Iaporan sistematis" tentang Sumatra pada akhir abad ke 18. Istilah-istilah van Vollenhoven ini sesuai dengan penjelasan yang oleh Marsden sendiri diberi tentang istilah "history" itu yaitu: "berisikan laporan tentang pemerintahan, hukum, kebiasaan dan adat sopan-santun orang-orang pribumi".
Mengenai hukum adat yang diperhatikan oleh Marsden dalam bukunya, van Vollenhoven menulis: "Hukum adat meliputi hanya sebagian daripada buku Marsden tetapi ia mencarinya dan memberikan perhatian yang khusus - terhadap hukum adat itu , mencoba menyusunnya, dan menempatkannya pada tempat yang utama pada ulasan judulnya dan di dalam bagian pokok bukunya itu".
Van V ollenhoven menyebut Marsden seorang pionir, seorang perintis dalam penemuan hukum adat itu, sebab "padanyalah timbul untuk pertama kali kesadaran tentang kesatuan dan hubungan tali-temali daripada daerah dan golongan suku-suku bangsa, yang keseluruhannya digolongkannya dalam kompleks yang lebih luas, yaitu Melayu-polinesia, yang di dalam perjalanan sejarah selanjutnya dari abad ke-19, akan dijuluki dengan nama "daerah Indonesia" dan "orang-orang Indonesia".
Karya Marsden disusul oleh karya Herman Warner Muntinghe, seorang Belanda, yang hampir menyamai Marsden sebagai pionir dan berturut-turut menjabat Sekretaris-pemerintah, Sekretaris Jenderal dari Gubernur-Jenderal Daendels, ketua Hooggerechtshof, …Raffles (!), sesudah kembalinya kekuasaan Belanda atas Indonesia menjadi pembantu ... Komisaris-Jenderal pada akhirnya: anggota Raad van indies. teranglah bahwa ia adalah seorang yang mengabdi pada yang kuat dan berkuasa! Rupanya jasa Muntinghe adalah penemuan desa Jawa Sebagai suatu persekutuan hukum (rechtsgemeenschap) yang asli dengan organisasi sendiri dan hak-hak sendiri atas tanah. Muntinghe adalah juga orang Barat pertama yang secara sistematis memakai istilah "adat", tetapi masih belum mengenal istilah "adatrecht" .
Penyelidikan dan pelajaran hukum adat Indonesia yang diadakan oleh Raffles tidak dipublikasikan dalam History of Java yang terkenal itu, tetapi dimuat dalam suatu skema pajak tanah yang dapat dibaca dalam Substance of a Minute.
Rafles membatasi bahan-bahan penyelidikannya tentang hukum adat yang hidup di Jawa terutama pada daerah-daerah kerajaan (Yogya dan solo), jadi dari suatu daerah, yang pasti memberikan arti yang sangat besar bagi penyelidikan atau studi tentang bahasa, kesenian, kesusastraan, namun disanalah pula hukum rakyat justru telah diperkosa oleh hukum raja. Jadi Raffles tidak dapat mencatat hukun rakyat yang hidup. Seperti Marsden, juga Raffles melihat Indonesia sebagai suatu keseluruhan yang bulat ", yang tidak terpisah-pisahkan.
Wilken, yang tidak menyebut Marsden sebagai perintis penyelidikan dan pelajaran hukum adapt, memuji Raffles sebagai penyelidik adat-istiadat pertama yang sungguh-sungguh.
Van Vollenhoven mengenal tiga perintis penemu hukum adat, yang ketiga-tiganya orang Inggris: Marsden, Raffles dan John Crawfurd. Yang disebut terakhir adalah seorang dokter, bekerja pada pemerintah Inggris, tetapi kemudian diserahi tugas politik, antara lain dari tahun 1811 sampai tahun 1814 dan pada tahun 1816 "resident", yaitu duta, pada kraton di Yogyakarta. Pada tahun 1814 ia melakukan tugas politik di Bali dan Sulawesi. Pengalamannya ditulis dalam sebuah buku yang berjudul History of the Indian Archipelago, yang terbit pada tahun 1820.
Mengenai pandangan Crawfurd tentang hukum adapt adalah suatu campuran, adat-istiadat asli dan hukum Hindu dan islam"., suatu percampuran hukum hindu asli dan hukum arab, dan dua hal terakhir ini adalah hanya diterima oleh yang terdahulu", -jadi dengan demikian crawfurd hanya melihat hukum agama itu sebagai bagian kecil saja dari hukum adat.
Di atas ini dapat kita catat perhatian tiga orang pemerintahan bangsa Inggris terhadap hukum adat itu. terhadap hukum adat itu ada juga perhatian dari pihak pemerintahan Bangsa Belanda seperti Muntinghe. Orang pertama dengan pandangan seorang negarawan, yang memperhatikan politik hukum adat, ialah Dirk van Hogendorp 1761-1822.
Kesimpulan Dirk van Hogendorp tentang sistem tanah adat itu, pada permulaan dianut pula oleh adiknya, yaitu Gijsbert Karel van Hogendorp. Tetapi mulai tahun 1806, oleh Gijsbert Karel hal tersebut dianggap suatu kesimpulan yang salah. Mulai tahun 1806 Gijsbert Karel berpendapat bahwa menurut hukum positif, orang Jawa itu menjadi pemilik iangsung tanahnya.
Daendels telah mengenal desa sebagai suatu yang bulat. Rupanya ia mengetahui tentang panjer dalam acara adat dan peradilan agama. Disamping itu, ia membuat dua kesalahpahaman: hukum pidana Jawa dianggapnya hukum pidana menurut al-Qur’an dan kepala desa dianggapnya kepala distrik dan sebaliknya. Pada bulan September 1808 ia menganjurkan supaya di seluruh pantai utara Pulau Jawa agar pengajaran anak-anak diberikan menurut adat kebiasaan undang-undang.
Para penguasa bangsa Belanda yang memimpin pemerintahani Hindia-Belanda sesudah zaman inggris, yaitu Komisaris - Jenderal yang dari 3 orang: van der Capellen, Du bus dan van den Bosch, tidak menaruh perhatian terhadap hukum adat dan apa yang dicatatnya adaah salah. Terutama mendengar nama van den Bosch, teringat kita pada masa Cultuurstelsel, yaitu masa tindakan pemerintah Hindia-Belanda yang sewenang-wenang, masa penindasan rakyat, masa memberi tanda tidak menngertinya dan diperkosanya kepentingan rakyat yang hakiki, tidak mau mengetahui lembaga-Iembaga masyarakat adat dan hukum adat indonesia.
Kemudian datang seorang yang kedua, tetapi yang lebih baik dari Muntinghe, yaitu Jean Chretien Baud, yang pernah menjabat Gubernur-Jenderal, kemudian Menteri Jajahan (Koloni).
Mengenai karya Wilken, van Vollenhoven menulis: "Buah tangan Wilken adalah kelas satu dan menimbulkan kekaguman orang, baik oleh karena tebalnya maupun oleh kekayaan isinya. la telah merasakan dirinya dihadapkan - tidak saja dilapangan hukum adat, tetapi juga dilapangan animisme . Mengenai Metode Wilken, van Vollenhoven menulis: "Metode Wilken alah metode etnologi- perbandingan, suatu cabang ilmu yang kala itu masih muda; tetapi berbeda dari banyak orang asing lainnya, sejak semula hampir segala perhatiannya dipusatkan pada kepulauan indonesia dan daerah-daerah sekelilingnya. Di tahun 1891 daerah lndonesia ini dikenal sebagai suatu daerah yang-terkaya atau jauh lebih kaya dari bagian dunia lainnya.
Biarpun Wilken, sebagai Guru besar pada Fakultas Sastra bertugas ngajar etnologi atau volkenkunde dan oleh sebab itu sebenarnya bukan spesialis hukum adat, - bahkan tak pernah ia memakai istilah adatrecht, namun oleh karena hasil karya Wilkenlah maka hukum adat mendapat tempat yang khas - tersendiri, dalam lingkungan kebudayaan yang sangat luas. Pada Wilken, hukum adat itu! merupakan bahan yang berdiri sendiri, walaupun tak disebutnya secara khusus, dan ia tetap mempertahankan hubungan antara hukum adat itu dengan kebiasaan dan agama.
Seorang lain yang juga disebut penemu hukum adat, adalah F.A. Liefrinck. "Sedang Wilken melakukan karya yang fundamental di Leiden, - maka dengan jiwa yang setara, namun tersendiri, dilakukanlah tugas menghadapi hukum adat itu di seberang lautan oleh seorang pegawai pamongpraja, ialah Frederik Albert Liefrinck".
Kita dapat menyebut Liefrinck sebagai salah seorang "penemu" hukum adat - biarpun seperti Wilken, Liefrinck tidak memakai istilah "adatrecht" .. karena juga Liefrinck memberi kepada hukum adat itu suatu tempat tersendiri. Tetapi metode Liefrinck berbeda prinsip dari metode Wilken. di atas tadi telah dikemukakan bahwa Wilken menggunakan metode etnologi-perbandingan, sedangkan "hasil karya Liefrinck terbatas pada suatu lingkungan hukum adat tertentu. Penyelidikannya hanya mengenai adatrechtskring atau lingkungan hukum adat: Bali dan Lombok.
Sebagai penemu ketiga dari hukum adat, dapat disebutkan C. Snouck Hurgronje yang bersama-sama dengan kedua "penemu" yang tersebut diatas tadi, Wilken dan Liefrinck - sering mendapat penamaan sebagai penemu-penemu hukum adat yang terkemuka.
Siapakah Snouck Hurgronje? "Kalau Wilken adalah pegawai Pamongpraja yang menjadi ilmuwan, dan Liefrinck seorang pegawai pamongpraja yang menjadi tetap seorang pamongpraja, maka Snouck Hurgronje adalah seorang sarjana-bahasa yang menjadi negarawan. Pada waktu Snouck Hurgronje tinggal di lndonesia ini, ia menulis beberapa buku penting, yang menjadi karya besar, yaitu tentang Iembaga-lembaga kebudayaan di Sumatra Utara. Pada tahun 1893 dan tahun 1894 diterbitkan buku De Atjehers, dan pada tahun 1903 diterbitkan buku Het Gayoland. Karya ini mengagumkan dunia ilmu pengetahuan, karena ia mengarangnya hanya bersumber pada percakapan belaka dengan orang-orang yang berasaf dari daerah pedalaman, yang tidak pernah dikunjunginya. "Menetap - pada waktu itu -hanyalah mungkin di daerah lingkungan yang dikuasai - yaitu Kotaraja dan sekitarnya - dan di beberapa pelabuhan pada pantai Utara dan Timur; bahan-bahan dari daerah pedalaman itu, hanyalah didapat dengan jalan bertanya-jawab belaka. Namun ekspedisi yang kemudian dilakukan ke daerah-daerah pedalaman dan pegunungan Aceh, yaitu dimasa antara 1898 sampai 1903, membenarkan pendapat-pendapat beliau pada bahan-bahan hukum adat demikian rupa, sehingga pcnerbitan dalam bahasa Inggris dalam tahun 1906 tidak memerlukan sama-sekali perubahan- perubahan naskah tersebut.
Dalam tahun 1900 ia bertemu dengan seorang Gayo yang cerdas dari daerah pesisir Barat Aceh yang merupakan alasan baginya untuk mengumpulkan bahan-bahan tentang daerah Gayo. Namun daerah dataran tinggi Gayo itu sendiri tidaklah pernah beliau kunjungi karena tak dapat dikunjungi. Bahan-bahan itupun didapat dari bertanya-tanya belaka pada orang-orang Gayo yang datang "ke bawah". Dan kebenaran daripada bahan-bahan inipun terbukti dengan jeiasnya dan kemudian diletakkan dalam karangan "Het Gayoland', 1903.
Hasil karya Snouck Hurgronje tentang daerah-daerah di Indonesia, yaitu "De Atjehers" dan "Het Gayoland", kedua-duanya, sepanjang hal itu mengenai hukum adat, pada hakikatnya terpusat pada suatu lingkungan hukum belaka atau sebagian daripada itu, dan tidaklah ia "mengadakan sesuatu perbandingan dengan daerah Nusantara lainnya. ladi sama halnya dengan Liefrinck, dan sangatlah berlainan dengan metode Wilken. Bahan-bahan tulisannya adalah penuh, malah berlimpah-limpah dengan perhatian dan ajaran-ajaran, yang sangat bermanfaat bagi studi tentang hukum adat di seluruh Indonesia; antara iain perbandingan/perhubungan antara hukum rakyat dan hukum raja, hukum yang hidup dan penulisan-hukum, hukum asli dan hukum agama.
Di atas tadi pada permulaan Bab I telah dikemukakan bahwa Snouck Hurgronje adalah orang pertama yang memakai isti]ah “adatrecht", yaitu adat yang bersanksi hukum, berbeda dari kelaziman dan keyakinan-keyakinan lain yang tidak mengandung arti "hukum".
Justru karena ditemukannya istilah "adatrecht" itu, maka diantara tiga "ontdekkers" hukum adat: Wilken, Liefrinck dan Snouck Hurgronje, yang disebut terakhirlah yang menampakkan diri paling jelas!
Pada waktu Wilken, Liefrinck dan Snouck Hurgronje "menemukan hukum adat", maka secara berangsur-angsur literatur tentang hukum adat itu bertambah, baik tulisan-tulisan dari kalangan sarjana-sarjana yang bekerja di bidang ilmu pengetahuan maupun tulisan-tulisan dari kalangan sarjana-sarjana hukum (juristen) yang bekerja dibidang praktek.
Dikalangan pendidik pegawai Pamong Praja Belanda di kota Delft (IihatIah diatas tadi), maka tradisi S. Keyzer, yaitu menulis tentang "hukum agama dengan penyimpanan-penyimpanan" lihatlah di atas tadi , diteruskan. Yang meneruskan tradisi yang salah itu adalah Dr. A.W.T. Juynboll, yang mengajar lembaga-Iembaga Islam di Delft dari tahun 1869 sampai tahun 1887, dan Mr. L.W.C. van den Berg, yang mengajar lembaga-lembaga, Islam di Delft itu dari tahun 1887 sampai tahun 1900 (tahun ditutupnya pendidikan di Delft itu).
Dari kalangan pendidikan di kota Delft itu terkenal pula sumbangan Dr. G.K. Niemann, gurubesar, tentang Sulawesi Selatan, yang dipublikasi pada-tahun 1883 dan yang berikutnya. Pada tahun 1868 diterbitkan laporan tentang Midden-Sumatra-expeditie (Sumatra Tengah) dengan lukisan tentang adat-istiadat masyarakat disitu.
Tetapi mulai tahun 1884 ada perubahan yang bersifat perbaikan keadaan. Yang menyebabkan perubahan itu adalah tiga orang sarjana hukum yang namanya de Gelder, Nederburgh dan Carpentier Alting.
Pada tahun 1886, dalam sebuah buku tentang dua Strafwetboek dari tahun 1866 dan tahun 1872, de Gelder, Vice-President Hoog Gerechtshof, menaruh perhatian terhadap pengertian-pengertian hukum adat dan hak milik tanah adat.
pada tahun 1889, Mr. W. Winckel, Landraad voorzitter di Ambon dan kemudian President Hoog Gerechtshot, telah sadar akan pentingnya hukum adat itu.
Perhatian yang lebih besar lagi terhadap hukum adat itu, datanglah dari Mr. I.A. Nederburgh, yang pada waktu itu masih Landraad Vvoorzitter di Sulawesi Selatan (kemudian direktur Departemen Justisi, President hoof Gerechtshof, gurubesar luar biasa). Pada tahun 1888 ia mempublikasikan dalam lndisch Weekblad van het Recht terjemahan dari beberapa sumber hukum (adat) Makassar dan pada tahun 1891 sampai tahun 1893 ia terlibat dalam suatu polemik dengan Mr. M.C. Piepers tentang asal dan sifat peradilan agama di Sulawesi Selatan itu. Dari tahun 1896 sampai tahun 1898, Mr. Nederburgh, sebagai suatu "eenmans werk", menerbitkan majalah Wet en adat, adalah menjadi majalah pertama yang membahas persoalan hukum adat itu dari segala segi dan memberi dorongan kuat untuk menyelidiki lebih dalam hukum adat itu. Jasa majalah ini terutama mengurangi kesalahpahaman yang melihat hukum adat itu sebagai hukum agama (Islam) .
Seorang pelopor ketiga diantara sarjana-sarjana hukum yang bekerja dibidang praktek, adalah Mr. J.H. Carpentier Alting, yang mulai bekerja sebagai pengacara (advocaat) di Padang, kemudian Landraadvorzitter di Menado, gurubesar, President Hoog Gerechtshof dan anggota Raad van lndie. Pada tahun 1897, ia berhasil menimbulkan inisiatif pada residen Manado untuk mengadakan penyelidikan tentang hukum adat setempat dengan maksud untuk mengumpulkan bahan-bahan yang dapat dipakai membuat kodifikasi hukum adat di Minahasa.
Mengenai karya para sarjana hukum, seperti de Gelder, Nederburgh dan Carpentier Alting, van Vollenhoven menulis: "Menjadi pertanda bagi para yuris saat ini adalah, berhubung dengan sifat hukum adat hanyak kekosongan, maka bila mereka menulis tentang bahan-bahan hukum adat, mereka tidaklah secara zakelijk mempersoalkan tentang Isinya, tetapi bahkan menulis tentang disekelilingnya.
Di atas telah dikemukakan bahwa Wilken, Liefrinck dan Snouck Hurgronje menemukan hukum adapt. Tetapi ketiga sarjana ini belum melahirkan suatu ilmu hukum adat (adatrechtswetenschap). Untuk dapat suatu ilmu hukum adat, maka perlu diperdalam pengetahuan hukum adat itu. Hal yang disebut terakhir ini baru saja terjadi permulaan abad ini. Van Vollenhoven menulis: "Tidaklah jika kita mengatakan bahwa permulaan abad ini ditandai suatu penemuan kedua daripada hukum adat, suatu penemuan lebih mendalam; yaitu yang tidak saja hanya mengurnpulkan dan menyusunnya, tetapi juga memahamkan sifat-siflt ketimurannya.
Justru "tweede ontdekking" ini penting, karena "tweede ontdekking" tersebut dapat mengarahkan pelajaran hukum adat ke suatu arah baru.
Sebagai faktor-faktor yang "bogen de adatrechtstudie in nieuwe richting om" (membelokkan studi tentang hukum adat dalam arah yang baru") yang melahirkan suatu Ilmu hukum adat, oleh van Vollenhoven disebut: Pertama, ialah hasil karya dari etnologi yang baru saja timbul, di Indonesia dipamerkan atau diperkenalkan oleh van Ossenbruggen. Mereka itu berpendirian, bahwa untuk memahamkan lembaga-lembaga ketimuran, orang sepatutnya mencari titik haluannya pada jiwa yang bersifat ketimuran dan masih primitif. Dan pikiran seperti hal inipun masih saja hampir tak kelihatan pada Wilken, suatu pertanda akan kekurang sadaran dari para sarjana barat.
Kedua, ialah seperti dalam tahun 1865 tatkala pemerintah mengusulkan suatu rencana undang-undang yang akan membunuh merusak hukum adat……… Dan kiranya bagi hukum adat patutlah dicatat sebagai hari besar tatkala pemerintah mengajukan rencana undang-undang yang berbahaya pada tanggal 15 Nopember 1904 - yaitu pasal-pasal 75 dan 109 R.R dan rencana 19 Mei 1908 .. yaitu pasal 62 R.R.
Ketiga, terletak pada keputusan dan perbuatan dari pemerintah Hindia Belanda yang secara terus menerus rnelakukan hal-hal yang sampai kini sebetulnya orang enggan melakukannya, ialah: soal-soal kedesaan, soal-soal kewilayahan, soal-soal hukum tanah. Hal yang sedemikian ini patutlah menjadi perhatian para pamong praja dan para yuris, bahwa di sini terletak beberapa keberatan dan patutlah pula hal ini menimbulkan "ketidak senangan" terhadap metode-metode Barat .
Namun di belakang sebab-sebab yang tiga ini, berdirilah suatu aliran jiwa besar sesudah 1900, yang dengan secara pasti memalingkan mukanya dari rasionalisme, dan materialisme abad yang lampau, seraya membukakan mata dan jiwa bagi hal-hal yang asli-kuno dan eara berpikir timur,cara mistik dan abad pertengahan, yang non Eropa dan non-materialistik.
Pada permulaan kariernya, van Ossenbruggen bekerja sebagai pengacara dan anggota Weeskamer di Makassar, Padang dan Semarang, kemudian ia menjadi dosen pada sekolah-sekolah pendidikan bagi pegawai Pamong Praja Indonesia di Probolinggo dan Magelang, kemudian ia diangkat menjadi anggota dan Ketua Raad van Justitie di surabaya, dan ia mengakhiri kariernya sebagai Raadsheer dan President Hoog Gerechtshof . Tetapi disamping bekerja dalam jabatan-jabatan resmi ini, ia mempunyai kegemaran mempelajari, rnenyebarkan dan mempraktekkan etnologi.
Pada tahun 1902 ia menulis suatu karangan tentang perbandingan hukum yang berjudul Oorsprong en eerste ontwikkeling van het testeeren Wogdijrecht, yang menurut Snouck Hmgronye menjadi suatu studi yang sangat penting dengan memaparkan secara rinci tentang sistem suku dan keluarga dalam kehidupan primitif dan oleh sebab itu sangat dianjurkan untuk dipelajari.
Di atas tadi telah diperkenalkan kepada kita trio yang "penemu hukum adat", yaitu Wilken, Liefrinck dan Snouck Hurgronye. Ketiga orang ini telah memberi suatu tempat tersendiri kepada hukum adat itu dalam lapangan ilmu hukum. Tetapi mereka belum ada kesempatan untuk mengadakan pelajaran hukum adat secara sistematis, mempelajari secara sistematis bahan-bahan tentang hukum adat yang telah dikumpulkan, membuat analisa dan menemukan sistem sendiri (eigen systeem) dalam tata hukum adat itu.
Dalam karya van Vollenhoven berhubung dengan pelajaran hukurn adat, ada tiga hal yang perlu disebut, karena menjadi hal-hal terpenting. Van Vollenhoven menghilangkan kesalah-pahaman yang melihat hukum adat itu identik dengan hukum agama (Islam); van Vollenhoven membela hukum adat terhadap usaha pembentukan undang-undang untuk mendesak atau menghdangkan hukum adat, dengan meyakinkan pembentuk undang-undang itu bahwa hukum adat adalah hukum yang hidup, yang mempunyai suatu jiwa dan sistem sendiri; dan van Vollenhoven membagi wilayah hukum adat Indonesia dalam sembilan belas lingkungan hukum adat (adatrechtskringen).
Dengan menghilangkan kesalahan paham yang melihat hukum adapt identik dengan hukum agama, van Vollenhoven berhasil memperlihatkan, identitas tersendiri dari hukum adat itu. Hal ini telah disinggung di atas.
Membagi wilayah hukum adat Indonesia dalam sembilanbelas lingkungan hukum adat itu sangat mempermudah mempelajari secara sistematik hukum adat itu. Dalam hukum adat ditiap-tiap lingkungan hukum itu ada ciri-ciri yang khas, yang memberi tanda kenaI pada hukum adat yang bersangkutan, sehingga, mempermudah menentukan Identitasnya, dengan demikian akan lebih mudah kita dapat menentukan ciri-ciri yang membedakan hukum adat orang Batak di Tapanuli dari hukum adat orang Minangkabau di Sumatra Barat, maupun ciri-ciri yang sama dalam kedua hukum adat itu, dan justru karena kita dapat melihat ciri-ciri yang membedakan maupun ciri-ciri yang sarna ini, maka kita dapat memperoleh suatu ikhtisar sistematis tentang hukum adat di Indonesia.
Adapun sembiIan belas lingkungan hukum adat itu adalah sebagai berikut:
1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Simeulue)
2. Tanah Gayo, Alas dan Batak
A. Tanah Gayo (Gayo Lueus)
B. Tanah Alas
C. Tanah Batak (Tapanuli)
I. Tapanuli Utara
a. Batak Papak (Barus)
b. Batak Karo
c. Batak Simelungun
d. Batak Toha (Samosir, Balige, Laguboti, Lumban Julu)
II. Tapanuli Selatan
a. Padang Lawas (Tano Sepanjang)
b. Angkola
c. Mandailing (Sayurmatinggi)
2a. Nias (Nias Selatan)
3. Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah datar, Limapuluh Kota, Tanah Kampar, Korinci)
3a.Mentawai (orang Pagai).
4. Sumatra Selatan
A. Bengkulu (Rejang)
B. Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan Tulang Bawang)
C. Palembang (Anak-Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo)
D. Jambi (pendudluk daerah Batin dan Penghulu)
5. Tanah Malayu (Lingga-•Riau, Indragiri, Sumatra Timur, orang Banjar)
6. Bangka dan Belitung.
7. Kalimantan (Dayak, Kalimantan Barat, Kapuas-Hulu, Kalimantan Tenggara, Mahakam-Hulu, Pasir, Dayak Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak dan Dayak tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo-Timan, Long Glatt, Dayak Maanyan-Patai, Dayak. Maanyan-Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot-Danum, Dayak Penyabung-Punan).
8. Minahasa (Menado)
9. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boallemo)
10. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kepulauan Banggai)
11. Sulawesi Selatan (orang Bugis, Bone, Gowa, Laikang, Ponre, Mandar, Makassar, Salayar, Muna)
12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmaheira, Tobelo, Kepulauan Sula)
13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kepulauan Uliasar, Buru, Seram, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, Kisar)
14. Irian.
15. Kepulauan Timor (Timor Timur, Timor Barat, Timor Tengah, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timor, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Savu, Bima)
16. Bali dan Lombok (Bali, Tnganan Pagringsingan, Kastala, Karangasem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa)
17. Jawa Tengah, Jawa Timur serta Madura (Jawa Tengah, Kedu, Purwokerto, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)
18. Daerah Kerajaan (Solo, Y ogyakarta)
19. Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten),
Perlu dikemukakan bahwa pembagian ini hanya untuk sementara
\" :Iktu saja. Di kemudian hari, karena tukar-menukar anggapan dan l.illI .. ]1 intas yang-•menjadi lebih rapat, dan anggota-anggota berlbagai I"("l'sekutuan hukum adat itllll makin lama makill bertambah, maka dengan .;,,"dlirinya perbedaan hukum antara berlbagai persekutuan hukum adat klsebut, yang sekarang masih ada, akan dihapuskan dan diperkecil. I'lktor-faktor lain ialah pengaruh kota-kota besardan makin lama makin wcresapnya kesadaran nasional sebagai warga Negara Kesatuan Il.q)Ublik Indonesia. Juga resepsi hulmm Eropa serta keinginan untuk I II I.: ngadakan unifikasi hukum di ~ndlonesi21 menjadi suatu faktor penting ;'lm.1l lenyapnya perbedaan hulkum tersebut dikemudian !hari .... I't:mbagian in i juga tidak berarti, bahwa Ibangsa Indonesia terbagi dalam Ill} "'bangsa kecil" yang sekali••kali tidak mempunyai Ilmbungan antara \;mg satu dengan yang lain, tcrkecuali ilkatan kenegaraall1l yang diberi llama Republik Indonesia. Ilkatan kenegaraan kita ini makin lama makin
I ".~K'isi!
I. Perbedaan hukum adat tersebut bukanlah suatu perbedaall1l asasi IpnYlcipieel). Perbedaan hukum adat itu hanya perbedaan kedaeralhan Ilokal) saja. Hal ini tdah dibuktikalfll okh Prof. Ter Harr dalam buktmya lkginselen en steL~el van he! adatrecht., yaitu sebualh buku yang menjadi I/logistrale voortzetting (pellanjut yang gemillang) darii pekerjaan van Voillenhoven 16'1.
Karya van Vollenhoven yang maha besar ini, yaitu mempelajari hokum adat secara sistematiis dlengan mendekatn sebanyak-banyaknya p.;lllldangan hidujp orang ]Indoncsiia sendliri, diteruskan dan d1i1engkapi oleh heberapa tijdgenoten dan bekas muriclnya. Diantara bekas muridlnya harus
disebut dua orang yang telah meninggalkan karya yang genial, yaitll I
seorang dari negeri Belanda dan seorang putra Indonesia.
Orang Belanda itu bernama Rarend ter Haar Bzn, yang pada waktu hidupnya menjadi gurubesar (yang pertama) untuk hukum adat -- dan untuk sementara waktujuga untuk etnologi- padaRechtshogeschool dl kota Betawi dahulu (Jakarta sekarang) dari tahun 1924 sampai tahull
1940168•
Oleh Soekanto diberitakan bahwa pada ter Haar ada suatu "kemauuo yang istimewa yaitu kemauan untuk menempatkan hukum adat disuatu :i tempat yang derajatnya sarna dengan ilmu-i1mu -hukum positif yang,: lain" (gestreefd moest worden naar een gelijkwaardige plaats in de r!ll der positieve rechtswetenschappen, lihat: Ter Haar, Het adatprivaatrechl
'''I
van Ned. Indie in wetenschap, practijk en onderwijs, diesrede 1937. '.
pag.3)" 1 69.
Soelkanto melanjutkan berita tentang karya ter Haar dengan pertanyaan:
"Apakah artinya Tel" Haal" tcrhadap hukum adat?
"Jawaban atas pertanyaan ini kita d1apat Iberikan dengan satu perkataan saja, yaitu: banyak. D.a~am lapangan teori hulkum adlat, dalam lapangan politik hukum adat, d1alam lapangan hukum acara, dalam usahanya untuk hukum adat tak dapat diabaikan, dan lain-lain."
Berhubung dengan teori hukull1 adat, Soepomo melllgatakan dalam lndisch tijdschr~fi. van het recht, jilid 154, aft 1, 1941, kira••kira seperti begini:
"Sistem hukum adat telah dibentangkan oleh valli V ollenhoven dalarn bukunya: Het Adatrecht van Ned. Irldie dengan pekerjaan ini van! Vol1enhoven memberikan kepada kita suatu dasar untuk menyelidiklil!1 lebih jauh hukum adat. Langkah pertama yang hams dilakllkan ialahilll penyelidikan lembaga-Iembaga hukum dan hubungan••hubungannya sertl~'ill faktor-faktor s~sial yang mel~p~l~garuhi Ikeadaan _dan perkembangatllill, hllkum adat.ll1llah tllgas yang dlplhh oieh Ter Haar. rer Haar melakukal' ill!
1 di. Rechtshogeschool dalam kuliah-kuliahnya; Ter Baar melakukan IIII dalam karangan-karangannya; Tel' Haar mengumllmkan ini dalam I '1Ikunya: Beginselen en stelsen van het adatrecht, buku mana disamping 11111\\1 van Vollenhoven, sangat perlu bagi seorang penggernar hllkum
1,1:1["170,
"Akan tetapi, bllkan saja Soepomo yang memuji buah pikiran Ter Il:lar dalam buku itu; salah seorang ahlih~lkum yangternamajuga, seperti dlllarhum Mr. F.D.E. van Ossenbruggen mengemukakan bahwa buah 101 k iran dan perkataan dalam buku itu adalah tepat clan terang (kernachtige "'f'crgeving der gedachten, verm(jding van elke overtolligheid, zonder d.oJ duidel(jkheid in te baeten, Themis 1939, halaman 505).
Memang, dalam buku itu Ter Haar membentangkan dengan terang dan sistematis beberapa macam persekutuan hu1kum, tanah, ~".~,rjanjian-perjanjian, hukum perkawilllan, hukum kekeluargaan, hukum W:'I!liS dan lain-lain hal., sehingga kita dapat mengatakan, bahwa isi buku IIu adalah suatu keuntungan besarbagi pel'kembangan hukllm kita. Makin h;myak kita mempelajari buku karangan Tel" Haar ini, makin tertarik
ilia o1eh isi bukl1 itu. Pendek kata, dengan terbitnya Beginselen en stelsel I,m he! adatrecht itu, Ter Haar I'nemlberikan slLIatu sumbangan yang ',;Ingat berharga bagi kita dan yang harus kita hargai.
Dalam politik hl1kum adat, Tel' Haar berjuang supaya misalnya hak 1IIIayat (beschikkingsrecht) mendapat pengakuan formil dalam IlIldang-Ull1idang; pertama, dibdakanE~ layar dalam volksraad, kedua, dalam agrarische commissie van 1928 ketiga, dalam advies der ,ommissie (1930)"" keempat, dalam beberapa karangan-karangan; kita ,;!,~but disini: Het beschikkingsrecht in het adatrecht .... i(Indisch tijdschr, l!h recht, dl. 125, pag. 348 en volg.); Twee agrarischeproblemen (De ,\'tuw, 15 Aug. 1930); De rechten op den woesten grond en de wetgever III Ned. lndie (De Gids, 1932); Het beschikkingsrecht in de jurisprudentie (Koloniaal tijdschrift 23ejrg. 1934). Lihat: MIf'. C. Tj. Bertling: B. Ter 'Ilaar, Bznl, (Koloniaal tijdschrifi, 30e jaargang, No, 3, Mei 1941, bld.
di. Rechtshogeschool dalam kuliah-kuliahnya; Ter Baar melakukan IIII dalam karangan-karangannya; Tel' Haar mengumllmkan ini dalam I '1Ikunya: Beginselen en stelsen van het adatrecht, buku mana disamping 11111\\1 van Vollenhoven, sangat perlu bagi seorang penggernar hllkum
1,1:1["170,
"Akan tetapi, bllkan saja Soepomo yang memuji buah pikiran Ter Il:lar dalam buku itu; salah seorang ahlih~lkum yangternamajuga, seperti dlllarhum Mr. F.D.E. van Ossenbruggen mengemukakan bahwa buah 101 k iran dan perkataan dalam buku itu adalah tepat clan terang (kernachtige "'f'crgeving der gedachten, verm(jding van elke overtolligheid, zonder d.oJ duidel(jkheid in te baeten, Themis 1939, halaman 505).
Memang, dalam buku itu Ter Haar membentangkan dengan terang dan sistematis beberapa macam persekutuan hu1kum, tanah, ~".~,rjanjian-perjanjian, hukum perkawilllan, hukum kekeluargaan, hukum W:'I!liS dan lain-lain hal., sehingga kita dapat mengatakan, bahwa isi buku IIu adalah suatu keuntungan besarbagi pel'kembangan hukllm kita. Makin h;myak kita mempelajari buku karangan Tel" Haar ini, makin tertarik
ilia o1eh isi bukl1 itu. Pendek kata, dengan terbitnya Beginselen en stelsel I,m he! adatrecht itu, Ter Haar I'nemlberikan slLIatu sumbangan yang ',;Ingat berharga bagi kita dan yang harus kita hargai.
Dalam politik hl1kum adat, Tel' Haar berjuang supaya misalnya hak 1IIIayat (beschikkingsrecht) mendapat pengakuan formil dalam IlIldang-Ull1idang; pertama, dibdakanE~ layar dalam volksraad, kedua, dalam agrarische commissie van 1928 ketiga, dalam advies der ,ommissie (1930)"" keempat, dalam beberapa karangan-karangan; kita ,;!,~but disini: Het beschikkingsrecht in het adatrecht .... i(Indisch tijdschr, l!h recht, dl. 125, pag. 348 en volg.); Twee agrarischeproblemen (De ,\'tuw, 15 Aug. 1930); De rechten op den woesten grond en de wetgever III Ned. lndie (De Gids, 1932); Het beschikkingsrecht in de jurisprudentie (Koloniaal tijdschrift 23ejrg. 1934). Lihat: MIf'. C. Tj. Bertling: B. Ter 'Ilaar, Bznl, (Koloniaal tijdschrifi, 30e jaargang, No, 3, Mei 1941, bld.
Tesis ter Haar adalah mengenai hukum acara orang Indonesial72. Tcsi" ini ditulisnya pada tahun 1915. Sembilanbelas tahun kemudian, "Dalam tahun 1934 ia menerbitkan lagi suatu pub1ikasi tentang hukum acal'H :1 dalam Indisch ttjdschr. v.h. recht, dl. 140, 1934, pag. 35 C.V., tcntal1~1 Welke eischen stelt toe passing van ongeschreven materieel privaatredrJ aan organisatie en procesrecht der inlandsche rechtbanken? Ter Ham mengatakam disini bahwa Jlwkum acara hams membawa hak serapat-rapatnya dengan masyarakat Indonesia (Soepomo, Mr. B. '1\11' Haar Bzn, Knd. LV.h.r. dl. 154, aft. I , 1941, halaman 13 dan selat~jutnya),
Pembatasall hukum adat (ajbakening van het adatrecht). Yanl/l dimaksudlkan T(~r Haar ialah berlmbung dengan peradilannYi~1 (rechtspraak) rad-rad agama (priesterraden) dalam soal-soal hukum waris (in kwesties van erfrecht). Rad-rad agama ini diubah menjad~ pengadilan••pengadilan pCllglmlu (penghulugerechten). Lain dari ilU kekuasaan hukum (rechtsmacht) penghulu (godsdienslige rechter) mendapat Ikeltentllilm Ihukum yang lebih Itegas (beter o,mltind). Suall! mahkamah (Hof van lslamitische Zaken) dibentuk. Ini semul~ pekerjaannya Ter Baar. Lilla!: Karangan-Ikarangan Bertling dan SoepolTlO di atas, halaman 269 Clan 12.
Bahwa antara Imkum adat dan lllmu etnologi tiidalk saja ada hubllngall yang erat sekali, akan tetajpi lebih-Iebilh untuk mempllnyai pengertiall tepat atas beberapa hal dalalltll hukum adat, ilmu etnologi sang~I:1 ii diperlukan, dikemukalkan oleh Ter Haar dalam pidatonya Ipada tanggal Ii: 28 Oktober 1937 (diesrede 1937) dilT/ana Ter Haar mellgatakan bahw;:1 ~I ilmll etnologi (rechtsethnologle) adal.ah jperlu untuk rnendidik ahli-ahli ' hukum-adat, dan lebih terang dalam bulku Ter l--Jaar: Beginselen en ste/set :1
,
van het adatrecht. Seringkalli dallam OUklll1 itll Ter Haar mell1lulis, bal1wi~ I,ll
beberapa perlbllaltan dalam hukum adat berdasar rdigio-•maglis, balhwlli :III,' ikatan warga desa dan tanah adalah reliogio magis, dasar panjer ialal,I:II'i
•.11'1;:
religio-magis, dan lain-lain"17J':III,li
Tentang karya "Soepomo sebagai sarjana,"174 -, dalam 1939 'il<.'nggantikan Ter Haar dli Rechthogeschool, - dan yang mCl1jadi plltra II,donesia lPertama, Resink menulis: "Pada tahuo 1927, ketika baru !1l:lumur 24 tahun, Soepomo memperoleh ge1ar doktor dalam ilmu hulmm I'lda Rijksuniversiteit Leiden (Negeri Belaoda). Yang menjadi !I:lIlrlotomya ial.ah van Vollcnhovel]. Soepomo menjadi sarjana hukum 1:';lllgsa Indonesia Ikelillna yang memjpf'Koleh ge!ar dokltOJr daJam ilmu lildmm dibawah pimpinan mahagufIllI yang termasyhllr itll. Miereka yang 1!II1.:ndalmlui Socpomo dalam m(~mperoleh gelar doktOJr ntu ialah I ;ondokoesoemo, Koesoemah Atmadja, Enda Boemi dan Soebwto; "'lcrelkajugaJruemlahului Soepomokealam Ibakasebelmn ul11U1rmencapai .',0 tahuo. Bahwasanya hukum adatlah yang paling Illenarik perhatilan ' I\hdai saat ini perhatian Soepomo tidlalk lagi dapat dilepaskan d:ui I ',cnggaman hukum adat il:lI. Pada tahun 1928 ditlliisnya karangall1J Hel ':I"ondenrechl ter hoofdplaals Jogja no de Reorganisalie Cr.128); pada I.dnm 1932 Icarangan Verslag mntrenl !let muler'{,oek naar het .rdatgrondener:l;-echl in het geweslJogjakarta buiten de hoofdplaats (T.
13); pacla talum 1933 dliterbntkan buku yang terkenal l./d.adatprivaatrecht van West-Java; paOla tahun iitujlUlga dibuatnya sualtu ,fcskundigenverslagtell1itaulg hulkunl hallta perlkawinall di daerah Cianjur 1'11'., 137); parela tailmn 1936 praeadvies mltuk iVierde Nederland•.Jndische Juristencongres tentang Het vervreemdingsverbod van lnlandsche ::ronden; padla tatllm 1937 dua karangan mengenaiSchijnhandeling en IIverschrUving van grond clan M.iddel-Javaansch erfi-echt (T. 143); pada lahun 1939 dibllatnya sHah]1 Verslag nopens het onderzoek naar het I.ldatrecht ter hoofdplaats Batavia 1(1'. 1501) dan pada talmn 194 I ole\] Soepomo diucapkan suatu omsi pelantikan sebagaii guruibesalr tenltang ne verhoudingvan individu en gemeenschap in het adatrecht. Disamping ditullisnya. karangan••kamngalll ini, oleh Soepomo diadak:mjuga beberapa il injauan bllku dalatn indisch. '1'Vd~'chrift van het Recht dari Italmlfl 1934
sampai tahun 1941, yaitu tinjauan buku atas disertasi .Knottenbelt (T.] 39) dan disertasi Caron (T. ]51), atas orasi Holleman (T. 142) dan orasi Kom (T. ] 52); aklhirnya dibuatnya suam nekrologi (Riwayat almarhum) Tel' Haar (T. 154).
Sete]ah Perang Dunia II, Soepomo, Ikini hampir senantiasa da]am bahasa Indonesia, menaruh perhatian Ikhusus terlhadaJP politilk hukum adat dan kedudukan hukum adat di kemudian hari dan :sejarah politik hukum adat pacla zaman yang silam. Karangan-karangannya dad tahull 1[947 tentang. Soal-soal politik hukum adat dikemudian hari, yang diterbitkan dalam majalah Hukllm dan, kemudian, suam terjemahan dari pidato yang diueapkannya da]ambahasa Inggris dikota Washington pad" tal1unJ•952 tentang hukum ad at dikemlldian hari berhubllmg dengan pembinaan negam Indonesia, yang diterbitlkan clalam rn~Jialah hukum pada tahuo ] 952 itu pula dan kemudian lagi diterbitkan kembali dalam himpunan Bab-bab tellltang JH[ukum Adat -Ihimpunan ini diterbitkal1l setelah S:oepomo meninggal -.- sebagai suatu karangan pembukaall himpunan tersebut, semua ini memperliha1:kan idealisme Soepomo d1aHam bidang politilk hukum itu.,
Mengenai iidealiismeini, m(~nUrult pendapat saya agak Irnaif (naiej), kemudian Soepomo merasa kecewa, dan oleh :sebab itu, d1iHuar dugaan ball1lyak orang, tawaran yang disampaikan kepada Soepomo untl.llk memiimpin Lembaga Pembimlan Hukum Nasional tidalk begitu menggembirakaill!1lya. Pandangalr1l reaiisrne historis yang dimil[iki Soepomo mengenai politik hukum adat paGla zamml dar.mllu tl~rnyata dalam bukllnya St~jaral1 poiitile hukm1rl ad at, yang telah beber.apa lkall dicetale kemibali. Jilid pertarna bulku ini ditulisnya berSBllTllll"slllma dengan Djokosoetono dan diterbitlkan pada tallnm 11950, sedang:kan jiii.d kedula diterbitkan dengan ibantuan Djokosodono danNyonya [1v11r.. lP'id~'rs Gm pada 1:ahun ] 954.
Juga :sistem hukmTl adat mendapat perhatimn Soepomo.,F'erha:tiaH itiB terbukti dalam karangannya Sistem Ada! yang dinmat dalam lhiimpumll11 Bab-bab tentang hukum adal. yang :telahsaya :singgung diatas tadi. HimplUlnan ini mermmt pallia karangall1l-karal1g11lfl HukumAdat Waris dan Hukum Ada! Delik, Ylllng melukislkan sish~m bagialOl••1bagJian Ihulmrn adat tersebut"175
Soepomo tidak hanya menaruh pcrhatian terhadap hukum adat dan p!llitik hukum adaL Sebagai seorang sarjana yang aktif dalam "111.~mbangull1l hulkum banI Republik Indonesia, khusus pada vvaktu ia IlidUlk dalam 'belberapa Ikomisi penting, iia menaruh perhatian terhadap I, I Ii; !.1m tata negaml76, Ketilka ia menjalba1t dulla besar di London dan juga 1'.lllm 'wakt'u1 sf.~slJdah ikemibaiii dii lndonl~s.lia, Socpomo sang,aK IiIII:rnpcJ['hatikan hadamm i!llltemasionadL. J?ada ''ialktu Soepolfno ada di negeri I ill',griS, ia mengadak:m cClmnllah•••ceramah dli unrversiitas-llJ,niversitas "II,griis telli\:a11lg rn21s3llah••rnasallah sosiaJ di Indiones,ia'T.
I /;fYilli:rnyat, p~~~la}~.rH:J~ .1:~I~~IHl1I.c a,d::1'l denga:ll. se~1,~ji,r.il:lya ~:o~orna~i,::;? fllulampungl oieh P',Il~dIi[JllkdI111td.ta 1r1il.lIl.1lnn cLul puadd,w dl Indoi]l;_,;,1di
;1I:b iUIKril.lrnl1lya., yang terunU311: d311larn dU [liHlm 1954, eLal:1 IHluf"'Hiilnm :atd:,llirm peinIJiml:a pe]l1Ig,m~lIi!:allf! HIiI'~}~~~'lIi, yang . i,.u::rbitkan pada talhuTi L 951L Dna bl.lku Itenllang 1[:H::r2ld:iiiian di
III: didia11lIui\!ui slJlatu k31I"JUlgan yaln!'; di.l.ulis pada ([al-tllilil 1929, Y31itu IDI,"
1.1 ':lltOIlnr'll:,elCiltS!IU'21;mlk 11m: ,
,ILdS
''Te1lapi prodluktivitas SoepolTlo dia:iarn !liima ba:gian Ila:pangan iirnu :')Silal! inr 1tidak salina besar. lDeJinikian juga unrtu dlari apa yang .1 dwsilkarnnya dalallm ti:nlat lapall1lgallil ilmu sos.ial 1lersdmt, tiidiak sarna Illnggi.lDiniia.ii dalll'i sndut iill11IIUL. rnaka dapat dikatalkan baillwa peikcI:Jiaan ":oeporl1o daiamOl bidang hulmm ad:at" baiilk !f1rwnurult kuantitas :!1nal.lpun 1I1]lenurut kuafiiitas.,jauh eli atas peikeltjaan••pekeljaan yang lain. Disampiing
politik hukull1 adat sejak tahun 1848. Yang menarik perhatian adalah
tulisan-tulisan beberapa pegawai Pamong Praja Belanda dan hukull1 Uuristen) yang mencoba ll1elihat lembaga-Iembaga adat itu sudut penglihatan orang Indonesia sendiri"180.
Mr. C. Th. van Deventer menemukan latar belakang "minta
yang menjadi kebiasaan orang Indonesia dalam melakukan berbaglli transaksi, yaitu "persekot" itu tidak lain daripada panjer. Mr. C.A, Wienecke menemukan bahwa dalam barang roerend dan barauH onroerend tidaklah tepat, seharusnya ada pembagian dalam barang "yall~l dapat diganti" dan barang "yang tak dapat diganti"
Pad a tahun 1913 Logemann, yang bekerja di Blora, menunjuk pada istilah-istilah hukum adat -- jual atau adol, sah, tetap, panjer, tebas, borong .. - yang diteT:iemahkan salah dalam bahasa Belanda, dan akibat pendapat baru Logemann itu, selanjutnya, banyak kesalahan paham tentang lembaga-Iembaga hukum adat dapat dihilangkan. Mr: F.D. Holleman -- yang namanya telah disebut dalam Bab III di atas tadi mempublikasikan "penemuan-penemuan yang menarik"l8l tentall!r sistem hukum adat di Tulungagung (Jawa Timur) dalam suatu rangkaian penyelidikan pad a tahun 1918, 1920 dan 1924 (dikumpulkan dan diterbitkan kembaii pada tahun 1927), dan pada tahun 1923 Holleman menulis buku yang terkenai tentang Het adatgrondenrecht van Ambon en de Oeliassers. Pada tahun j 923 itu pula, Logemal1n memperkenalkan sllatu pandangan baru, yang sangat mendekatkan pandangan hidUip orang lndonesia, tentang bantuan yang diberikan oleh penguasa-penguasa adat kepada mereka yang mengadakan perbuatan-perbuatan Imkum adat Padl~ tahun 1919 Mr. Sarolea mempublikasikan suatu "pengex1ian baru"IH:' ltentang kesukuan di Minangkabau.
Pada akhirnya, haluan baru ini dJiperkuat oleh ~matu rangkaian keputusan-keputusan Landraad, yang lebih sesuai dengan hukmn adal: sebenarnya 183.
Juga dari pihak misi dan zen ding datang sumbangan, biarpun kecil tetapi berharga. Disini perlll disebut tulisan--tulisan yang memuat
, dl.lll-bahan tentang hukum adat dari pastor-pastor Geurtjens tentang I' i l'ldauan Kei --; van der Kolk dan Vertenten -- tentang Irian Selatan; d III van der Kolk itu menu lis tcntang Tanimbar dan Kei pula --; Drabbe I, 1IIIang Tanimbarl84. Diantara zendeling-zendeling harus disebut cIua " 1111'; besar: Dr. N. Adriani dan Dr. Albert C. Kruytl85 beberapazendeling 1,,,, yang memberi sumlbangan kepada pengetahuan kita tentang hllkum ,,1.11 adalah Fortgens. Hueting, Meerwaldt, Schut, Warned~, van Wetering ,1,11, Wielenga.186
:';(~jak van VoJlenhoven diangkat menjadi gurubesar di Leiden, maka d, iIIgan sendirinya (otomatis) perhatian terhadap hukum adat itu menjadi I,,';ar pula dalam kalangan perguruan tinggi dan jUlTIlah tulisan-tulisan d," iah tentang hukum adat -- disertasi-disertasi, karangan-karangan dan I II Ilk lI-bukll -kian bertamlbah banyak.
Sampai tahun 1910 dalam kalangan pergllrllan tinggi bel um llH.IIlgkin
I Ii ",dakan sllatll pelajaran akadem is tersend iri tentang hukum adat. Karena k •. :;al.ahan paham yang melihat hukum adat identilk dengan hukum agama I i:-:llam) -- lihat di atas tadi --. maka dengan sendirinya pelajaran hukum ,lIdat itu dilihat sebagai em'belan lslamologi sCflta etnologi. Tetapi justru IlIlisan-tulisan W'ilken, Liefrinck dan Snouck Hurgronye, kecaman 1\lederburgh dan publikasi-publikasi pertama dari van Ossenbruggen, \'ang memberi tempat tersendiri kepada hukum adat, rneyakinkan bahwa pelajaran hukul11 adat tidak dapat diiterllskan sebagai embelan I slamologi ..Ian etnologi, melainkan, karya Wilken, Liefrink clan Snouck HurgronYt\ t'Jederburgh dan van Ossenbruggen telah-memberi landasan kuat llntllk 'Inembangun "suatu ilmu t~~rsendiri tentang hukum adat" .. Disamping itu., istilah adatrecht, yang ditemukan oleh Snouck I-Iurgronye, makin lama makin banyak dipakai dan dikenal umum, sehingga menguntungkan dam pembatasan suatu pelajaran hukum adat dapat dengan tepat diadakan. Pada talmo] 914 kamus istilah bahasa Bclanda yang disusun oleh de Vries dan te Winkel tellah memuat istilah adatrecht, sebagai bukti bahwa istilah tersebllt telah dikenal mnum 187.
hukum daerah kerajaan, lihat di atas. Dibandingkan dengan keadaan sebelum Perang Dllnia II, maka boleh dikatakan bahwa setelah Perang Dunia n kegiatan menyelidiki clan mempelajari hukum aclat itu sangal: berkurang, baik eli Negeri Belanda maupun eli Indonesia. Selbabnya di Negeri Belanela kegiatan itu menjadi berkurang, karena hilangnya Indonesia bagi Negeri Belanda sebagai snatu koloni Belanda. Pun tidak lagi bekerjanya eli sini orang-orang Bdanda sebagai pegawai Pamong Praja (Belanda), sebagai hakim, bahkan, sejak aksi Irian Barat pada tanggal 3 Desember 1957 tidak aela lagi seorang Belandla yang menjadi gllrubesar dalam kaIangan perguman tinggi kita.
Sebabnya di Indonesia kegnatan itll menjadi berkurang karena para sarjana hukmn Ieita masih sangat terikat perhatian dan tcnaganya pada penyelesaian berbagai persoa!an yang lebih urgen berhubung dengan tugas pembangunan dan tugas penyeJesaian revalusi Indonesia. Mereka belmll mempunyai cukup waktu untuk m'~ngadakan penyelidilkan clan pelajaran tentang hukum adat.
Beberapa publikasi yang diterbitkan eli 'Negeri Belanda setelah Perang Dunia H: diantara yang pentlng dapat clisebut: pada tahun 1945: disertasi J.J. Donneier yang menguraikan Banggaisch adatrecht; disertasi E.H. s' Jacob tentang Lancl.wlomein en adatrecht - claJ i I-dalil (stellingen) yang dikemukakan s' Jacob dibantah keras oleh Kom clan R. val!ll Dijk dalam brosur mereka Adatgrondenrechl en domeinjictie yang ditu I is pada tahun 1946; dan lihat juga karanganM. Sonius, pilihan tentang hukum yang berlaku di atas tanah212 -; pada tatum ] 948: disertasi R. van Dijk tentang Samenleving en adatrechtsvorming diisertasi J. Keuning ten tang Verwantschapsrecht en volksordening, huwe.lijksrecht en erfrecht in het Koeriagebled van Tapanoeli, disertasi J. Prins tentang Adat en lslamietische plichtenleer in lndonesie; pac1a tahun 1952: PJrajoedi Atmo:soeOlirdjo menulis suatu disertasi yang membandlingkan hukum adat orang Madura eli Jawa Timur elengan hukum adat orang Using2l3. JDisel1asi-disertasi s' Jacob dan Prajoedi dipertahankan pada Universitas Utrecht sedangkan disertasi-c1isertasi yang lain dipertahankan pada Universitas L(;~iden.
Beberapa pubJikasi yang diterbitkan di Indonesia setelah Perang I hll1ia II adalah: pada waktu Republik Indonesia beribu kota £Ii Y ogyakatia: lahirlah dua pidato Soepomo yang mengupas soal-soal politik hukum dalam pembangunan negara Indonesia214 clan yang IIlcramalkan Kedudlllimn hukum ad at I[Hkemudian hari215, tlljuh dalil ':llcpomo yang dikemukakannya dalam karangan tentang Hukllm sipil Illdonesia di kemudian hari216; pada tahup J 950 diterbitkan jilid I buku :;oepomo dan Djokosutono telltang Sejarah politik hukum adat danjilid III blllku tersebut -- yang ditulis dengan bal1tllan Nyonya Ch. Pieters-Gill
diterbitkan pada tahun 1954 (Iihatlah diatas tadi); pada tahun 1954 itu Ilula dipublikasi pengantar hukum adat yang pertama: karya R. van Dijlk
.. lihatlah kata pengantar pada permulaan buku inj217 sedangkan oleh :c:oekanto d itu lis suatu ikhtisar (overzicht) pertama tentang hukum adat. I"entang karya Soekanto ini lihatlahjugaKata Pengantarpada permulaan I,uku ini. Akhirnya, perlu disinggllog beberapa karya Hazairio yang tidak Ilanya mengllpas hubungan antara hukum 1sla.m d1engall hukum adat tetapi Iluga memuat bahan-bahan penting tentang hl.lkum adat dan masalah pembangunan diJapangan hukum pada umulTlnya; ialah: pidato di Salatiga pada tahun 1950 mengenai HllllkUllull>aru di lirndlollllesia .. - Hhat d i atas tadi .... ; HllJlkllllllll1l l[slam £Ian MasY;lllrak~lt; PI;:rgolakan, Penyeslla.ian Adat kepada hukum Islam; "lmllollliesna s:ahJ1 ma:sjid"; semuanya pidato dan ceramah yang diadakan an tara tahun 1950 dan tahun ] 953; pidato inaugurasi di Jakarta pacla tanggal 13 September 1952 rnengenai "Kesusilaan dan .... lihat Bab][ di atas -"Hendak Ikl;:mana hukum Islam"2111 dan "Hukum waris bilateralmenurut Ai .. QlIr'an"219.
Di atas tadi telah dikatakan, bahwa dibandingkan dengan keadaan sebell1l11 Perang DlInia II tidak saja di Negeri Belanda tetapi juga di Indonesia, kegiatan menyelidikii dan mempelajari hukmn ad/at itu sangat berkurang; tetapi syu!kurlah, sejak tahun 1957 tampaknya usaba
menyelidi'~i danmelnpelajari'hukllli1' adatH~lah giat k'emball.Kegiatan terse but menjadi Icbill besar e1alirlsahamengadaka~penditian-pUli hilah bertambah banyak. Mungkin hal ini disebabkan oleh faktor keamanan serta kondisi-kondisi sosial politik telah lebih banyak memberikan kesempatan kepada pemillaf.-peminat dilapangan hukum adat. Kegiatan dan minat itu tampaknya berpusat pad a beberapaUniversitas, yaitu UniversitasGajalunada Y ogyakalia dan di Universitas Indonesia Jakarta. Kegiatan itu tidak hanya ditujukan pada "penyelidikan norma-llorma hllkum ad at yang bam", tetapijuga pada penyelidikan-penyelidikan latar belakang sosio-kulturalnya_ Kegiatan itu tampak dalamsuatu rangkaian publikasi "TinjauanSosiografi ]ndonesia" dan dalam penerbitall sebuah majalah "Sosiografi Indonesia" oleh Panitia SoCial .Research Ulliversitas Gajahmaela"220. Kemudiatlo1eh Yayasan Pembina Huklll11 Adat Universitas Gajahlllada diterbitkan "Maj'alah hllkurn Adat". Datlse'gala kegiatan inikiranya mendapatdorongan atallpun dipimpin langsllllgdan dijiwai oleh Prof. M.M. Djojodigoeno, yang disamping itu teJah pula mempublikasikanberturut-turut hasH karyanya"Menyar\dera Hllkum Adat"221, "Reorientasi Hukumdall Huklnl1 Adat"222 dall "Asas~asias hukum adat"223_
, Pad a Universitas IndOl~esja, Prof. Nilsroen menllIis tentang s.ua~lI segi barn daripada huk~lm adat, yaitl,l Dasar falsafah. adat Mina,ngkab("lu,224 dml tak lama kemudian diterbitkan sebuah hasi) ,karya Prof. Soepqmo terbaru, suatu hinlpunan kara,ng karena "sedang bukllini disiapkan pel~cetakannya " _'Soepo]~()
wafat"226. Keinudial\~ sllatll "Kll111pulan putliSall Mahkamah Agung mellgenai hukl11-h adat" telah dihilhpun pula olej1r>rof. Soebektid~hJ. . Tamara, - 1961 -, yang beri'si 50 k'eplltl.lsan-keputusan penting dilapkNgan
hukum adat dan patut dicatat pula karya Prof. S.A. Hakim mengenai "'Juallepas, jual gadai dan jual tahunan", 1960; dua karangan lain yang dipublikasi dalam majalah "Pajajaran"227 menarik perhatian kita, yaitu "Inventarisasi hukum benda perkawinan aelat" oleh Bueli Sembiring S.H. dan "Lembaga kontrak ijon ditinjau dari sudut hukum", oleh Saleh Adiwinata SW28. Dan patut dicatat e1isini sebuah tesis yang sangat penting artinya bagi penyelidikanetnolggi dan hukum adat, ialah hasil karya Dr. Koentjaraningrat! 'Beberapa metode antropologi dalam penyelidikan-penyelidikan masyarakat dan kebudayaan di Indonesia", 1958. Dengan giatnya kembali lIsaha menyelidiki dan mempelajari hukllm adat itll, maka kita berharapan besar akan lahirkan kembali, suatu tingkat pelajaran hukum adat yang mutunya sesuai dengan keadaan sebelum Perang Dunia 1I seperti halnya pernah dilakllkan dan dipertahankan oleh Ter Haar dan Soepomo.
Hal itu adalah suatu keharusan, karena hukum adat tetap merupakan suatll bagian penting e1aripada penghidupan sehari-hari bangsa kita. Terlebih hal itu dirasakan, kalau kita mengingat bahwa hukurn adat dapat memberikan bahan-bahan yang bernilai bagi pembinaan huklllm Imasion:lll dimasa yang akan datang, yaitll suatu sistem hukum yang benar-benar sesu3u dengan kepribadian bangsa Indonesia dan memenuhi keperluan dan kepentingan selurllh lapisan dan golongan rakyat kita.
Sebelum menutup bab ini" masih ada satu hal lagi yang memohon perhatian kita. "Kesaelaral1 orang Barat" akan hulkllm adat yang saya sebllt di atas ta&, tidak hanya menghasilkan timbuillya suatll ilmu hukllm adat, sebagai suatu cabang ilmu hukum yang berdiri selldiri, tetapi juga turut mendirikan suatu cabang ilmu hulkllm yang lain, ialah: ilmu hllkum an tar golongan.
JPengaruh ilmu hukllm adat atas tumbulmya ilmu hllkum antar golongan itu, kelihatan dalam sebuah karangan van Vollenhoven yang-J tennuat dalamjilid III He! Adatrecht van Nederiand~ch Indie229• Tetapi
bukanlah van Vollenhoven yang menjadi systeembouwer, pembentuk atau penyusun sistem ilmu hukum antar golongan itu tetapi seorang bekas muridnyalah yang menjadi gurubesar pada Sekolah Tinggi Hukum di .Jakarta dari tahlln ] 924 sampai 1935, yaitu: R.D. Kollewijn23o.
Sesudah Kollewijn berangkat ke Negeri Belanda, dimana ia melanjutkan perkuliahan hukul11 antar golongan pada Universitas Leiden, maka perklliiahan hukum antar golongan pada Sekolah Tinggi Hukum diteruskan oleh W.F. Wertheim231. Sesudah Perang Dunia n pada Universitas Indonesia di Jakarta, kuliah-kuliah hukum antar galongan diberikan oleh seorang bekas murid Kollewijn, yaitll W.L.G. Lemaire.232 Selanjutnya, pada tahun 1951 dalam kalangan Universitas Indonesia, sesudah Lemaire berangkat ke Nederland, kuli.alht-kndiab tersebut diberikan oleh seorang bekas murid Kollewijn yang lain, yaitu G.J. Resink, yang menitikberatkan penyefidikannya pad a sejarah hukum antar golongan itu233. Pada tahun 1955 Resink bertindak sebagai promotor terhadap seorang bekas murid Lemaire, yaitu Gouw Giok Siang, yang menulis sebuah disertasi tentang beberapa segi hukum peraturan perkawinan campuran234. Setahun kcmudian, yaitu pada tahun ] 956, Gouw Giok Siong menggantikan Resink sebagai gurubesar dalam mata peJajaran hukum antar golongan dikalangan Universitas Indonesia2Js• Pada tahun 1955 itll pula, Lemaire mcnggantikan Kollewijn dikalangan Universitas Leiden236, Sekali lagi, pada tahllu 1956 itu, seorang bekas murid Resink, yaitu Moh. Koesnoc, memlllai sllatu tllgas mengajar
hllkum antar golongan dikalangan Universitas Hasanuddin di Makassar (kngan mengadakan suatu kuliah umum tentang arti, tempat dan sifat hukum intergentiF37 .
Pada tahun 1957 oleh Gouw Giok Siong diterbitkan .. sesudah disempurnakannya -- diktat kuliah Resink, dibawahjudul Hukum Antar l!;olongan. Suatu pengantar238. Buku ini merupakan baik sebagai pengantar .maupun sebagai "handboek" pertafua tentang hukum antar golongan. '''Pertama itu, karena systeem-bouwer-nya sendiri tidak menulisnya239 _ II<:ollewijn menguraikan sistem hukum antar golongan itu dalam suatu liangkaian karangan-karangan, tetapi, mpanya, tidak diberi waktu untuk menyusun suatu buku yang meliputi segala aspek hukum antar golongan ilu. Pada tahun 1957 itu dan tahuu ] 959 oleh Gouw Giok Siong, sebagai hasil usaha melengkapi daftar !iteratur tentang hukum antar golongan, .u1isusun dan dliterbitkan suatu himpunan keplltusan-keputusan (jl1lrispruden) hllkum alltar golollgan240.
Seperti yang dikemukakan oleh Gouw Giolk Siong dalam pidato pelantikannya (Jihatlah noot 235), memang pada saat ini hukum antar golongan itu adalah suatu hukum yang hid lip, tetapi, menllrut perkiraan ~;aya, riwayat hllkum antar golongan itu tidak begitu lama lagi, lebih-!ebih sesudah berlakunyakesatuan hukum nasional dikemudian hari. Bam saja, hil.llkum antar golongan dilapangan hukum tanah (agraria)241 menjadi lenyap.
Dalam masa 1960- ] 975 dapat dlicatat suatu kemajuan penulisan H[ukum Adat yang berasal dlari hasil penyelidikan di lapangan atau pengalaman para penulis sendilt'i, maupul1 penelaahan-penelaahan yang bersumber pada literatur yang lebih dahulu, Dapat kita tambahkan disini sederetan publikasi di lapangan Hukum Adlat yang sebagian besar kita ptetik dari "Bibliografi Hukum IndonesJia", yang diterbitkan oleh Lernbaga Penyelidikan Hukum dan Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Pajajaran, Bandung, sebagai edisi terakhirnya diterbitkan pada tahun ] 974 dan dihimpun oleh Eddy Damian dan Robert N. Hornick J.D. dan diterbitkan aleh "Penerbit Alumni" Bandung.
Perhatian terhadap hukum adat itu dilukiskan secara lengkap oleh Van Vollenhoven dalam buku De ontdekking van het adatrecht. Dari lukisan van Vollenhoven ini, oleh Soekanto dalam buku Meninjau hukum adat Indonesia telah dibuat suatu reproduksi yang dipersingkat.
Van Vollenhoven menulis dalam bukunya itu tentang sejarah ontdekking van het adatrecht, yakni sejarah "penemuan hukum adat". Timbul pertanyaan: siapakah yang menemukan hukum adat? Hukum adat ditemukan oleh siapa? Sudah tentu, tidak oleh rakyat sendiri. Hal itu tidak mungkin, karena dengan meminjam kata-kata von Savigny -- hukum adat itu ist Und wird mit dem Volk. Hukum adat itu ada ditengah-tengah rakyat sendiri, dirasakan oleh rakyat sendiri setiap hari. Jadi, ganjil sekali untuk mengatakan bahwa rakyat "menemukan hukum adat"!.
Siapa-siapa yang menemukan dan memperkenalkan hukum adapt itu, ditunjukkan oleh van Vollenhoven dalam bukunya tersebut, yakni sarjana-sarjana, ahli-ahli dan peminat-peminat lain terhadap hukum adat, yang justru hidup diluar Ilingkungan, masyarakat adat, apalagi 90% dari mereka itu adalah orang asing dan yang menjadi pelopor ilmu hukum adat (adatrechtswetenschap) atau pembangun ilmu hukum adat. Kita mengetahui bahwa hukum adat adalah hasil proses kemasyarakatan dan kebudayaan sejak beribu-ribu tahun yang lalu sampai sekarang, dan dalam bukunya tersebut oleh van Vollenhoven ditunjukkan siapa-siapa yang telah berjasa menyelidiki, melaporkan, menganalisa, menulis dan menyusun hukum adat Itu. van V ollenhoven memberitahukan bila sarjana-sarjana, ahli-ahli dan peminat-peminat lain terhadap hukum adat menyadan bahwa, rakyat IndoneiIa, mempunyai sekumpulan peraturan-peraturan hukum yang rnengatur tingkah laku mengatur hidup kemasyarakatan, yang menentukan serta mengikat karena mempunyai sanksi.
Dengan kata-kata lain: dalam buku van Vollenhovcn tersebut dapat kita baca bila ilmu hukum yang pada zaman kolonial di bawa ke Indonesia oleh sarjana-sarjana, ahli-ahli dan peminat-peminat lain (terhadap hukum) yang bagian terbesarnya orang Belanda - mulai memperhatikan hukurn adat dan kemudian, menemukan "ontdekken” hukum adat itu. Karena dengan ditemukannya hukum adat itu, dimulailah juga suatu riwayat sebuah cabang ilmu hukurn, yaitu dimulainya riwayat tentang ilrnu hukum adat (adatrechtswetenschap), maka dapat dikatakan bahwa dalam buku van Vollenhoven, De ontdekking van het adatrecht tersebut di atas, dilukiskan sejarah ilmu hukum adat.
Prof. Bushar berpendapat bahwa menyelidiki perkembangan hukum adat adalah suatu usaha yang jauh lebih sukar daripada menyelidiki evolusi dalam perhatian terhadap hukum tersebut. Dari manakah kita dapat mengetahui misalnya, gono-gini pada zaman Sultan Agung di Mataram, atau jual-beli pada zaman raja I Gusti Ngurah Panji Sakti di Buleleng (Pulau Bali)?
'Van Vollenhoven maupun Soekanto memberi "geschiedenis van de (adat)-rechtswetenschap" (sejarah ilmu hukum adat) dan tidak mcmberi "(adat) rechtsgeschiedenis" (sejarah hukum adat).
Pada tahun-tahun 1750, 1759, 1760 dan 1768 turut campurnya VOC dalam usaha penertiban hukum orang lndonesia asli, menghasilkan empat kodifikasi dan pencatatan hukum bagi orang indonesia asli. ialah:
1. Untuk keperluan Landraad di Semarang tahun 1750 dibuat suatu Compendium yang biasanya terkenal dengan nama singkatannya yaitu "Kitab Hukum Mogharraer" yang memuat hukum pidana Jawa, tetapi ternyata memuat hukum pidana Islam. Kodifikasi hukum ini kemudian dipublikasikan dalam majalah "Regt in Nederlandch Indie" dan oleh sebab pada tahun 1854 menjadi salah satu pokok pembicaraan dalam pembentukan RR 1854.
2. Pada tahun 1759 oleh pimpinan VOC disahkan suatu ''Compendium van Clootwijck", yang merupakan suatu pencatatan tentang hukum adat yang berlaku di kraton-kraton Bone dan Goa (di Sulawesi Selatan), yang dibuat oleh Jan Dirk van Clootwijck, yang tatkala itu menjadi "Gubernur di pesisir Selebes", dan tahun 1752 sampai tahun 1755.
3. Tahun 1760 oleh pimpinan VOC dikeluarkan suatu himpunan peraturan-peraturan hukum Islam mengenai warisan, nikah dan talak. Karena himpunan ini disusun oleh D.W. Freijer, seorang penasihat pernerinteh VOC mengenai hal-hal anak pribumi, maka orang mengenalnya dengan nama Compendium Freijer. Pencatatan hukum islam oleh Freijer ini lama dipakai, beberapa bagian dari Compendium tersebut dicabut dengan berangsur-angsur pada abad ke-19; bagian terakhir (mengenai warisan) pada tahun 1913.
4. Oleh Pieter Cornelis Hasselaer, yang pada tahun 1757 sampai tahun 1765 menjabat residen di Cirebon, direncanakan pembuatan suatu kitab hukum ada! yang akan menjadi "Suatu pegangan hukum adat bagi hakim-hakim di Cirebon. Penyelesaian pembuatan kitab hukum tersebut terjadi pada talnm 1768 dibawah
Menyadari adanya dan kemudian "menemukan" hukum adat itu dengan berangsur-angsur., terjadilah dalam abad ke-19 dan pada permulaan abad ke-20 ini, sebagai akibat diadakannya penyelidikan dan pelajaran hukum adat yang makin lama makin banyak, makin teliti dan makin sistematis.
Pada tahun 1783 oleh Marsden dipublikasikan sebuah buku yang berjudul The History of Sumatra, yang sebenarnya tidak memuat sejarah pulau tersebut, tetapi dengan meminjam istilah-istilah van Vollenhoven, membuat suatu "gambaran” atau suatu "Iaporan sistematis" tentang Sumatra pada akhir abad ke 18. Istilah-istilah van Vollenhoven ini sesuai dengan penjelasan yang oleh Marsden sendiri diberi tentang istilah "history" itu yaitu: "berisikan laporan tentang pemerintahan, hukum, kebiasaan dan adat sopan-santun orang-orang pribumi".
Mengenai hukum adat yang diperhatikan oleh Marsden dalam bukunya, van Vollenhoven menulis: "Hukum adat meliputi hanya sebagian daripada buku Marsden tetapi ia mencarinya dan memberikan perhatian yang khusus - terhadap hukum adat itu , mencoba menyusunnya, dan menempatkannya pada tempat yang utama pada ulasan judulnya dan di dalam bagian pokok bukunya itu".
Van V ollenhoven menyebut Marsden seorang pionir, seorang perintis dalam penemuan hukum adat itu, sebab "padanyalah timbul untuk pertama kali kesadaran tentang kesatuan dan hubungan tali-temali daripada daerah dan golongan suku-suku bangsa, yang keseluruhannya digolongkannya dalam kompleks yang lebih luas, yaitu Melayu-polinesia, yang di dalam perjalanan sejarah selanjutnya dari abad ke-19, akan dijuluki dengan nama "daerah Indonesia" dan "orang-orang Indonesia".
Karya Marsden disusul oleh karya Herman Warner Muntinghe, seorang Belanda, yang hampir menyamai Marsden sebagai pionir dan berturut-turut menjabat Sekretaris-pemerintah, Sekretaris Jenderal dari Gubernur-Jenderal Daendels, ketua Hooggerechtshof, …Raffles (!), sesudah kembalinya kekuasaan Belanda atas Indonesia menjadi pembantu ... Komisaris-Jenderal pada akhirnya: anggota Raad van indies. teranglah bahwa ia adalah seorang yang mengabdi pada yang kuat dan berkuasa! Rupanya jasa Muntinghe adalah penemuan desa Jawa Sebagai suatu persekutuan hukum (rechtsgemeenschap) yang asli dengan organisasi sendiri dan hak-hak sendiri atas tanah. Muntinghe adalah juga orang Barat pertama yang secara sistematis memakai istilah "adat", tetapi masih belum mengenal istilah "adatrecht" .
Penyelidikan dan pelajaran hukum adat Indonesia yang diadakan oleh Raffles tidak dipublikasikan dalam History of Java yang terkenal itu, tetapi dimuat dalam suatu skema pajak tanah yang dapat dibaca dalam Substance of a Minute.
Rafles membatasi bahan-bahan penyelidikannya tentang hukum adat yang hidup di Jawa terutama pada daerah-daerah kerajaan (Yogya dan solo), jadi dari suatu daerah, yang pasti memberikan arti yang sangat besar bagi penyelidikan atau studi tentang bahasa, kesenian, kesusastraan, namun disanalah pula hukum rakyat justru telah diperkosa oleh hukum raja. Jadi Raffles tidak dapat mencatat hukun rakyat yang hidup. Seperti Marsden, juga Raffles melihat Indonesia sebagai suatu keseluruhan yang bulat ", yang tidak terpisah-pisahkan.
Wilken, yang tidak menyebut Marsden sebagai perintis penyelidikan dan pelajaran hukum adapt, memuji Raffles sebagai penyelidik adat-istiadat pertama yang sungguh-sungguh.
Van Vollenhoven mengenal tiga perintis penemu hukum adat, yang ketiga-tiganya orang Inggris: Marsden, Raffles dan John Crawfurd. Yang disebut terakhir adalah seorang dokter, bekerja pada pemerintah Inggris, tetapi kemudian diserahi tugas politik, antara lain dari tahun 1811 sampai tahun 1814 dan pada tahun 1816 "resident", yaitu duta, pada kraton di Yogyakarta. Pada tahun 1814 ia melakukan tugas politik di Bali dan Sulawesi. Pengalamannya ditulis dalam sebuah buku yang berjudul History of the Indian Archipelago, yang terbit pada tahun 1820.
Mengenai pandangan Crawfurd tentang hukum adapt adalah suatu campuran, adat-istiadat asli dan hukum Hindu dan islam"., suatu percampuran hukum hindu asli dan hukum arab, dan dua hal terakhir ini adalah hanya diterima oleh yang terdahulu", -jadi dengan demikian crawfurd hanya melihat hukum agama itu sebagai bagian kecil saja dari hukum adat.
Di atas ini dapat kita catat perhatian tiga orang pemerintahan bangsa Inggris terhadap hukum adat itu. terhadap hukum adat itu ada juga perhatian dari pihak pemerintahan Bangsa Belanda seperti Muntinghe. Orang pertama dengan pandangan seorang negarawan, yang memperhatikan politik hukum adat, ialah Dirk van Hogendorp 1761-1822.
Kesimpulan Dirk van Hogendorp tentang sistem tanah adat itu, pada permulaan dianut pula oleh adiknya, yaitu Gijsbert Karel van Hogendorp. Tetapi mulai tahun 1806, oleh Gijsbert Karel hal tersebut dianggap suatu kesimpulan yang salah. Mulai tahun 1806 Gijsbert Karel berpendapat bahwa menurut hukum positif, orang Jawa itu menjadi pemilik iangsung tanahnya.
Daendels telah mengenal desa sebagai suatu yang bulat. Rupanya ia mengetahui tentang panjer dalam acara adat dan peradilan agama. Disamping itu, ia membuat dua kesalahpahaman: hukum pidana Jawa dianggapnya hukum pidana menurut al-Qur’an dan kepala desa dianggapnya kepala distrik dan sebaliknya. Pada bulan September 1808 ia menganjurkan supaya di seluruh pantai utara Pulau Jawa agar pengajaran anak-anak diberikan menurut adat kebiasaan undang-undang.
Para penguasa bangsa Belanda yang memimpin pemerintahani Hindia-Belanda sesudah zaman inggris, yaitu Komisaris - Jenderal yang dari 3 orang: van der Capellen, Du bus dan van den Bosch, tidak menaruh perhatian terhadap hukum adat dan apa yang dicatatnya adaah salah. Terutama mendengar nama van den Bosch, teringat kita pada masa Cultuurstelsel, yaitu masa tindakan pemerintah Hindia-Belanda yang sewenang-wenang, masa penindasan rakyat, masa memberi tanda tidak menngertinya dan diperkosanya kepentingan rakyat yang hakiki, tidak mau mengetahui lembaga-Iembaga masyarakat adat dan hukum adat indonesia.
Kemudian datang seorang yang kedua, tetapi yang lebih baik dari Muntinghe, yaitu Jean Chretien Baud, yang pernah menjabat Gubernur-Jenderal, kemudian Menteri Jajahan (Koloni).
Mengenai karya Wilken, van Vollenhoven menulis: "Buah tangan Wilken adalah kelas satu dan menimbulkan kekaguman orang, baik oleh karena tebalnya maupun oleh kekayaan isinya. la telah merasakan dirinya dihadapkan - tidak saja dilapangan hukum adat, tetapi juga dilapangan animisme . Mengenai Metode Wilken, van Vollenhoven menulis: "Metode Wilken alah metode etnologi- perbandingan, suatu cabang ilmu yang kala itu masih muda; tetapi berbeda dari banyak orang asing lainnya, sejak semula hampir segala perhatiannya dipusatkan pada kepulauan indonesia dan daerah-daerah sekelilingnya. Di tahun 1891 daerah lndonesia ini dikenal sebagai suatu daerah yang-terkaya atau jauh lebih kaya dari bagian dunia lainnya.
Biarpun Wilken, sebagai Guru besar pada Fakultas Sastra bertugas ngajar etnologi atau volkenkunde dan oleh sebab itu sebenarnya bukan spesialis hukum adat, - bahkan tak pernah ia memakai istilah adatrecht, namun oleh karena hasil karya Wilkenlah maka hukum adat mendapat tempat yang khas - tersendiri, dalam lingkungan kebudayaan yang sangat luas. Pada Wilken, hukum adat itu! merupakan bahan yang berdiri sendiri, walaupun tak disebutnya secara khusus, dan ia tetap mempertahankan hubungan antara hukum adat itu dengan kebiasaan dan agama.
Seorang lain yang juga disebut penemu hukum adat, adalah F.A. Liefrinck. "Sedang Wilken melakukan karya yang fundamental di Leiden, - maka dengan jiwa yang setara, namun tersendiri, dilakukanlah tugas menghadapi hukum adat itu di seberang lautan oleh seorang pegawai pamongpraja, ialah Frederik Albert Liefrinck".
Kita dapat menyebut Liefrinck sebagai salah seorang "penemu" hukum adat - biarpun seperti Wilken, Liefrinck tidak memakai istilah "adatrecht" .. karena juga Liefrinck memberi kepada hukum adat itu suatu tempat tersendiri. Tetapi metode Liefrinck berbeda prinsip dari metode Wilken. di atas tadi telah dikemukakan bahwa Wilken menggunakan metode etnologi-perbandingan, sedangkan "hasil karya Liefrinck terbatas pada suatu lingkungan hukum adat tertentu. Penyelidikannya hanya mengenai adatrechtskring atau lingkungan hukum adat: Bali dan Lombok.
Sebagai penemu ketiga dari hukum adat, dapat disebutkan C. Snouck Hurgronje yang bersama-sama dengan kedua "penemu" yang tersebut diatas tadi, Wilken dan Liefrinck - sering mendapat penamaan sebagai penemu-penemu hukum adat yang terkemuka.
Siapakah Snouck Hurgronje? "Kalau Wilken adalah pegawai Pamongpraja yang menjadi ilmuwan, dan Liefrinck seorang pegawai pamongpraja yang menjadi tetap seorang pamongpraja, maka Snouck Hurgronje adalah seorang sarjana-bahasa yang menjadi negarawan. Pada waktu Snouck Hurgronje tinggal di lndonesia ini, ia menulis beberapa buku penting, yang menjadi karya besar, yaitu tentang Iembaga-lembaga kebudayaan di Sumatra Utara. Pada tahun 1893 dan tahun 1894 diterbitkan buku De Atjehers, dan pada tahun 1903 diterbitkan buku Het Gayoland. Karya ini mengagumkan dunia ilmu pengetahuan, karena ia mengarangnya hanya bersumber pada percakapan belaka dengan orang-orang yang berasaf dari daerah pedalaman, yang tidak pernah dikunjunginya. "Menetap - pada waktu itu -hanyalah mungkin di daerah lingkungan yang dikuasai - yaitu Kotaraja dan sekitarnya - dan di beberapa pelabuhan pada pantai Utara dan Timur; bahan-bahan dari daerah pedalaman itu, hanyalah didapat dengan jalan bertanya-jawab belaka. Namun ekspedisi yang kemudian dilakukan ke daerah-daerah pedalaman dan pegunungan Aceh, yaitu dimasa antara 1898 sampai 1903, membenarkan pendapat-pendapat beliau pada bahan-bahan hukum adat demikian rupa, sehingga pcnerbitan dalam bahasa Inggris dalam tahun 1906 tidak memerlukan sama-sekali perubahan- perubahan naskah tersebut.
Dalam tahun 1900 ia bertemu dengan seorang Gayo yang cerdas dari daerah pesisir Barat Aceh yang merupakan alasan baginya untuk mengumpulkan bahan-bahan tentang daerah Gayo. Namun daerah dataran tinggi Gayo itu sendiri tidaklah pernah beliau kunjungi karena tak dapat dikunjungi. Bahan-bahan itupun didapat dari bertanya-tanya belaka pada orang-orang Gayo yang datang "ke bawah". Dan kebenaran daripada bahan-bahan inipun terbukti dengan jeiasnya dan kemudian diletakkan dalam karangan "Het Gayoland', 1903.
Hasil karya Snouck Hurgronje tentang daerah-daerah di Indonesia, yaitu "De Atjehers" dan "Het Gayoland", kedua-duanya, sepanjang hal itu mengenai hukum adat, pada hakikatnya terpusat pada suatu lingkungan hukum belaka atau sebagian daripada itu, dan tidaklah ia "mengadakan sesuatu perbandingan dengan daerah Nusantara lainnya. ladi sama halnya dengan Liefrinck, dan sangatlah berlainan dengan metode Wilken. Bahan-bahan tulisannya adalah penuh, malah berlimpah-limpah dengan perhatian dan ajaran-ajaran, yang sangat bermanfaat bagi studi tentang hukum adat di seluruh Indonesia; antara iain perbandingan/perhubungan antara hukum rakyat dan hukum raja, hukum yang hidup dan penulisan-hukum, hukum asli dan hukum agama.
Di atas tadi pada permulaan Bab I telah dikemukakan bahwa Snouck Hurgronje adalah orang pertama yang memakai isti]ah “adatrecht", yaitu adat yang bersanksi hukum, berbeda dari kelaziman dan keyakinan-keyakinan lain yang tidak mengandung arti "hukum".
Justru karena ditemukannya istilah "adatrecht" itu, maka diantara tiga "ontdekkers" hukum adat: Wilken, Liefrinck dan Snouck Hurgronje, yang disebut terakhirlah yang menampakkan diri paling jelas!
Pada waktu Wilken, Liefrinck dan Snouck Hurgronje "menemukan hukum adat", maka secara berangsur-angsur literatur tentang hukum adat itu bertambah, baik tulisan-tulisan dari kalangan sarjana-sarjana yang bekerja di bidang ilmu pengetahuan maupun tulisan-tulisan dari kalangan sarjana-sarjana hukum (juristen) yang bekerja dibidang praktek.
Dikalangan pendidik pegawai Pamong Praja Belanda di kota Delft (IihatIah diatas tadi), maka tradisi S. Keyzer, yaitu menulis tentang "hukum agama dengan penyimpanan-penyimpanan" lihatlah di atas tadi , diteruskan. Yang meneruskan tradisi yang salah itu adalah Dr. A.W.T. Juynboll, yang mengajar lembaga-Iembaga Islam di Delft dari tahun 1869 sampai tahun 1887, dan Mr. L.W.C. van den Berg, yang mengajar lembaga-lembaga, Islam di Delft itu dari tahun 1887 sampai tahun 1900 (tahun ditutupnya pendidikan di Delft itu).
Dari kalangan pendidikan di kota Delft itu terkenal pula sumbangan Dr. G.K. Niemann, gurubesar, tentang Sulawesi Selatan, yang dipublikasi pada-tahun 1883 dan yang berikutnya. Pada tahun 1868 diterbitkan laporan tentang Midden-Sumatra-expeditie (Sumatra Tengah) dengan lukisan tentang adat-istiadat masyarakat disitu.
Tetapi mulai tahun 1884 ada perubahan yang bersifat perbaikan keadaan. Yang menyebabkan perubahan itu adalah tiga orang sarjana hukum yang namanya de Gelder, Nederburgh dan Carpentier Alting.
Pada tahun 1886, dalam sebuah buku tentang dua Strafwetboek dari tahun 1866 dan tahun 1872, de Gelder, Vice-President Hoog Gerechtshof, menaruh perhatian terhadap pengertian-pengertian hukum adat dan hak milik tanah adat.
pada tahun 1889, Mr. W. Winckel, Landraad voorzitter di Ambon dan kemudian President Hoog Gerechtshot, telah sadar akan pentingnya hukum adat itu.
Perhatian yang lebih besar lagi terhadap hukum adat itu, datanglah dari Mr. I.A. Nederburgh, yang pada waktu itu masih Landraad Vvoorzitter di Sulawesi Selatan (kemudian direktur Departemen Justisi, President hoof Gerechtshof, gurubesar luar biasa). Pada tahun 1888 ia mempublikasikan dalam lndisch Weekblad van het Recht terjemahan dari beberapa sumber hukum (adat) Makassar dan pada tahun 1891 sampai tahun 1893 ia terlibat dalam suatu polemik dengan Mr. M.C. Piepers tentang asal dan sifat peradilan agama di Sulawesi Selatan itu. Dari tahun 1896 sampai tahun 1898, Mr. Nederburgh, sebagai suatu "eenmans werk", menerbitkan majalah Wet en adat, adalah menjadi majalah pertama yang membahas persoalan hukum adat itu dari segala segi dan memberi dorongan kuat untuk menyelidiki lebih dalam hukum adat itu. Jasa majalah ini terutama mengurangi kesalahpahaman yang melihat hukum adat itu sebagai hukum agama (Islam) .
Seorang pelopor ketiga diantara sarjana-sarjana hukum yang bekerja dibidang praktek, adalah Mr. J.H. Carpentier Alting, yang mulai bekerja sebagai pengacara (advocaat) di Padang, kemudian Landraadvorzitter di Menado, gurubesar, President Hoog Gerechtshof dan anggota Raad van lndie. Pada tahun 1897, ia berhasil menimbulkan inisiatif pada residen Manado untuk mengadakan penyelidikan tentang hukum adat setempat dengan maksud untuk mengumpulkan bahan-bahan yang dapat dipakai membuat kodifikasi hukum adat di Minahasa.
Mengenai karya para sarjana hukum, seperti de Gelder, Nederburgh dan Carpentier Alting, van Vollenhoven menulis: "Menjadi pertanda bagi para yuris saat ini adalah, berhubung dengan sifat hukum adat hanyak kekosongan, maka bila mereka menulis tentang bahan-bahan hukum adat, mereka tidaklah secara zakelijk mempersoalkan tentang Isinya, tetapi bahkan menulis tentang disekelilingnya.
Di atas telah dikemukakan bahwa Wilken, Liefrinck dan Snouck Hurgronje menemukan hukum adapt. Tetapi ketiga sarjana ini belum melahirkan suatu ilmu hukum adat (adatrechtswetenschap). Untuk dapat suatu ilmu hukum adat, maka perlu diperdalam pengetahuan hukum adat itu. Hal yang disebut terakhir ini baru saja terjadi permulaan abad ini. Van Vollenhoven menulis: "Tidaklah jika kita mengatakan bahwa permulaan abad ini ditandai suatu penemuan kedua daripada hukum adat, suatu penemuan lebih mendalam; yaitu yang tidak saja hanya mengurnpulkan dan menyusunnya, tetapi juga memahamkan sifat-siflt ketimurannya.
Justru "tweede ontdekking" ini penting, karena "tweede ontdekking" tersebut dapat mengarahkan pelajaran hukum adat ke suatu arah baru.
Sebagai faktor-faktor yang "bogen de adatrechtstudie in nieuwe richting om" (membelokkan studi tentang hukum adat dalam arah yang baru") yang melahirkan suatu Ilmu hukum adat, oleh van Vollenhoven disebut: Pertama, ialah hasil karya dari etnologi yang baru saja timbul, di Indonesia dipamerkan atau diperkenalkan oleh van Ossenbruggen. Mereka itu berpendirian, bahwa untuk memahamkan lembaga-lembaga ketimuran, orang sepatutnya mencari titik haluannya pada jiwa yang bersifat ketimuran dan masih primitif. Dan pikiran seperti hal inipun masih saja hampir tak kelihatan pada Wilken, suatu pertanda akan kekurang sadaran dari para sarjana barat.
Kedua, ialah seperti dalam tahun 1865 tatkala pemerintah mengusulkan suatu rencana undang-undang yang akan membunuh merusak hukum adat……… Dan kiranya bagi hukum adat patutlah dicatat sebagai hari besar tatkala pemerintah mengajukan rencana undang-undang yang berbahaya pada tanggal 15 Nopember 1904 - yaitu pasal-pasal 75 dan 109 R.R dan rencana 19 Mei 1908 .. yaitu pasal 62 R.R.
Ketiga, terletak pada keputusan dan perbuatan dari pemerintah Hindia Belanda yang secara terus menerus rnelakukan hal-hal yang sampai kini sebetulnya orang enggan melakukannya, ialah: soal-soal kedesaan, soal-soal kewilayahan, soal-soal hukum tanah. Hal yang sedemikian ini patutlah menjadi perhatian para pamong praja dan para yuris, bahwa di sini terletak beberapa keberatan dan patutlah pula hal ini menimbulkan "ketidak senangan" terhadap metode-metode Barat .
Namun di belakang sebab-sebab yang tiga ini, berdirilah suatu aliran jiwa besar sesudah 1900, yang dengan secara pasti memalingkan mukanya dari rasionalisme, dan materialisme abad yang lampau, seraya membukakan mata dan jiwa bagi hal-hal yang asli-kuno dan eara berpikir timur,cara mistik dan abad pertengahan, yang non Eropa dan non-materialistik.
Pada permulaan kariernya, van Ossenbruggen bekerja sebagai pengacara dan anggota Weeskamer di Makassar, Padang dan Semarang, kemudian ia menjadi dosen pada sekolah-sekolah pendidikan bagi pegawai Pamong Praja Indonesia di Probolinggo dan Magelang, kemudian ia diangkat menjadi anggota dan Ketua Raad van Justitie di surabaya, dan ia mengakhiri kariernya sebagai Raadsheer dan President Hoog Gerechtshof . Tetapi disamping bekerja dalam jabatan-jabatan resmi ini, ia mempunyai kegemaran mempelajari, rnenyebarkan dan mempraktekkan etnologi.
Pada tahun 1902 ia menulis suatu karangan tentang perbandingan hukum yang berjudul Oorsprong en eerste ontwikkeling van het testeeren Wogdijrecht, yang menurut Snouck Hmgronye menjadi suatu studi yang sangat penting dengan memaparkan secara rinci tentang sistem suku dan keluarga dalam kehidupan primitif dan oleh sebab itu sangat dianjurkan untuk dipelajari.
Di atas tadi telah diperkenalkan kepada kita trio yang "penemu hukum adat", yaitu Wilken, Liefrinck dan Snouck Hurgronye. Ketiga orang ini telah memberi suatu tempat tersendiri kepada hukum adat itu dalam lapangan ilmu hukum. Tetapi mereka belum ada kesempatan untuk mengadakan pelajaran hukum adat secara sistematis, mempelajari secara sistematis bahan-bahan tentang hukum adat yang telah dikumpulkan, membuat analisa dan menemukan sistem sendiri (eigen systeem) dalam tata hukum adat itu.
Dalam karya van Vollenhoven berhubung dengan pelajaran hukurn adat, ada tiga hal yang perlu disebut, karena menjadi hal-hal terpenting. Van Vollenhoven menghilangkan kesalah-pahaman yang melihat hukum adat itu identik dengan hukum agama (Islam); van Vollenhoven membela hukum adat terhadap usaha pembentukan undang-undang untuk mendesak atau menghdangkan hukum adat, dengan meyakinkan pembentuk undang-undang itu bahwa hukum adat adalah hukum yang hidup, yang mempunyai suatu jiwa dan sistem sendiri; dan van Vollenhoven membagi wilayah hukum adat Indonesia dalam sembilan belas lingkungan hukum adat (adatrechtskringen).
Dengan menghilangkan kesalahan paham yang melihat hukum adapt identik dengan hukum agama, van Vollenhoven berhasil memperlihatkan, identitas tersendiri dari hukum adat itu. Hal ini telah disinggung di atas.
Membagi wilayah hukum adat Indonesia dalam sembilanbelas lingkungan hukum adat itu sangat mempermudah mempelajari secara sistematik hukum adat itu. Dalam hukum adat ditiap-tiap lingkungan hukum itu ada ciri-ciri yang khas, yang memberi tanda kenaI pada hukum adat yang bersangkutan, sehingga, mempermudah menentukan Identitasnya, dengan demikian akan lebih mudah kita dapat menentukan ciri-ciri yang membedakan hukum adat orang Batak di Tapanuli dari hukum adat orang Minangkabau di Sumatra Barat, maupun ciri-ciri yang sama dalam kedua hukum adat itu, dan justru karena kita dapat melihat ciri-ciri yang membedakan maupun ciri-ciri yang sarna ini, maka kita dapat memperoleh suatu ikhtisar sistematis tentang hukum adat di Indonesia.
Adapun sembiIan belas lingkungan hukum adat itu adalah sebagai berikut:
1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Simeulue)
2. Tanah Gayo, Alas dan Batak
A. Tanah Gayo (Gayo Lueus)
B. Tanah Alas
C. Tanah Batak (Tapanuli)
I. Tapanuli Utara
a. Batak Papak (Barus)
b. Batak Karo
c. Batak Simelungun
d. Batak Toha (Samosir, Balige, Laguboti, Lumban Julu)
II. Tapanuli Selatan
a. Padang Lawas (Tano Sepanjang)
b. Angkola
c. Mandailing (Sayurmatinggi)
2a. Nias (Nias Selatan)
3. Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah datar, Limapuluh Kota, Tanah Kampar, Korinci)
3a.Mentawai (orang Pagai).
4. Sumatra Selatan
A. Bengkulu (Rejang)
B. Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan Tulang Bawang)
C. Palembang (Anak-Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo)
D. Jambi (pendudluk daerah Batin dan Penghulu)
5. Tanah Malayu (Lingga-•Riau, Indragiri, Sumatra Timur, orang Banjar)
6. Bangka dan Belitung.
7. Kalimantan (Dayak, Kalimantan Barat, Kapuas-Hulu, Kalimantan Tenggara, Mahakam-Hulu, Pasir, Dayak Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak dan Dayak tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo-Timan, Long Glatt, Dayak Maanyan-Patai, Dayak. Maanyan-Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot-Danum, Dayak Penyabung-Punan).
8. Minahasa (Menado)
9. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boallemo)
10. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kepulauan Banggai)
11. Sulawesi Selatan (orang Bugis, Bone, Gowa, Laikang, Ponre, Mandar, Makassar, Salayar, Muna)
12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmaheira, Tobelo, Kepulauan Sula)
13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kepulauan Uliasar, Buru, Seram, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, Kisar)
14. Irian.
15. Kepulauan Timor (Timor Timur, Timor Barat, Timor Tengah, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timor, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Savu, Bima)
16. Bali dan Lombok (Bali, Tnganan Pagringsingan, Kastala, Karangasem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa)
17. Jawa Tengah, Jawa Timur serta Madura (Jawa Tengah, Kedu, Purwokerto, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)
18. Daerah Kerajaan (Solo, Y ogyakarta)
19. Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten),
Perlu dikemukakan bahwa pembagian ini hanya untuk sementara
\" :Iktu saja. Di kemudian hari, karena tukar-menukar anggapan dan l.illI .. ]1 intas yang-•menjadi lebih rapat, dan anggota-anggota berlbagai I"("l'sekutuan hukum adat itllll makin lama makill bertambah, maka dengan .;,,"dlirinya perbedaan hukum antara berlbagai persekutuan hukum adat klsebut, yang sekarang masih ada, akan dihapuskan dan diperkecil. I'lktor-faktor lain ialah pengaruh kota-kota besardan makin lama makin wcresapnya kesadaran nasional sebagai warga Negara Kesatuan Il.q)Ublik Indonesia. Juga resepsi hulmm Eropa serta keinginan untuk I II I.: ngadakan unifikasi hukum di ~ndlonesi21 menjadi suatu faktor penting ;'lm.1l lenyapnya perbedaan hulkum tersebut dikemudian !hari .... I't:mbagian in i juga tidak berarti, bahwa Ibangsa Indonesia terbagi dalam Ill} "'bangsa kecil" yang sekali••kali tidak mempunyai Ilmbungan antara \;mg satu dengan yang lain, tcrkecuali ilkatan kenegaraall1l yang diberi llama Republik Indonesia. Ilkatan kenegaraan kita ini makin lama makin
I ".~K'isi!
I. Perbedaan hukum adat tersebut bukanlah suatu perbedaall1l asasi IpnYlcipieel). Perbedaan hukum adat itu hanya perbedaan kedaeralhan Ilokal) saja. Hal ini tdah dibuktikalfll okh Prof. Ter Harr dalam buktmya lkginselen en steL~el van he! adatrecht., yaitu sebualh buku yang menjadi I/logistrale voortzetting (pellanjut yang gemillang) darii pekerjaan van Voillenhoven 16'1.
Karya van Vollenhoven yang maha besar ini, yaitu mempelajari hokum adat secara sistematiis dlengan mendekatn sebanyak-banyaknya p.;lllldangan hidujp orang ]Indoncsiia sendliri, diteruskan dan d1i1engkapi oleh heberapa tijdgenoten dan bekas muriclnya. Diantara bekas muridlnya harus
disebut dua orang yang telah meninggalkan karya yang genial, yaitll I
seorang dari negeri Belanda dan seorang putra Indonesia.
Orang Belanda itu bernama Rarend ter Haar Bzn, yang pada waktu hidupnya menjadi gurubesar (yang pertama) untuk hukum adat -- dan untuk sementara waktujuga untuk etnologi- padaRechtshogeschool dl kota Betawi dahulu (Jakarta sekarang) dari tahun 1924 sampai tahull
1940168•
Oleh Soekanto diberitakan bahwa pada ter Haar ada suatu "kemauuo yang istimewa yaitu kemauan untuk menempatkan hukum adat disuatu :i tempat yang derajatnya sarna dengan ilmu-i1mu -hukum positif yang,: lain" (gestreefd moest worden naar een gelijkwaardige plaats in de r!ll der positieve rechtswetenschappen, lihat: Ter Haar, Het adatprivaatrechl
'''I
van Ned. Indie in wetenschap, practijk en onderwijs, diesrede 1937. '.
pag.3)" 1 69.
Soelkanto melanjutkan berita tentang karya ter Haar dengan pertanyaan:
"Apakah artinya Tel" Haal" tcrhadap hukum adat?
"Jawaban atas pertanyaan ini kita d1apat Iberikan dengan satu perkataan saja, yaitu: banyak. D.a~am lapangan teori hulkum adlat, dalam lapangan politik hukum adat, d1alam lapangan hukum acara, dalam usahanya untuk hukum adat tak dapat diabaikan, dan lain-lain."
Berhubung dengan teori hukull1 adat, Soepomo melllgatakan dalam lndisch tijdschr~fi. van het recht, jilid 154, aft 1, 1941, kira••kira seperti begini:
"Sistem hukum adat telah dibentangkan oleh valli V ollenhoven dalarn bukunya: Het Adatrecht van Ned. Irldie dengan pekerjaan ini van! Vol1enhoven memberikan kepada kita suatu dasar untuk menyelidiklil!1 lebih jauh hukum adat. Langkah pertama yang hams dilakllkan ialahilll penyelidikan lembaga-Iembaga hukum dan hubungan••hubungannya sertl~'ill faktor-faktor s~sial yang mel~p~l~garuhi Ikeadaan _dan perkembangatllill, hllkum adat.ll1llah tllgas yang dlplhh oieh Ter Haar. rer Haar melakukal' ill!
1 di. Rechtshogeschool dalam kuliah-kuliahnya; Ter Baar melakukan IIII dalam karangan-karangannya; Tel' Haar mengumllmkan ini dalam I '1Ikunya: Beginselen en stelsen van het adatrecht, buku mana disamping 11111\\1 van Vollenhoven, sangat perlu bagi seorang penggernar hllkum
1,1:1["170,
"Akan tetapi, bllkan saja Soepomo yang memuji buah pikiran Ter Il:lar dalam buku itu; salah seorang ahlih~lkum yangternamajuga, seperti dlllarhum Mr. F.D.E. van Ossenbruggen mengemukakan bahwa buah 101 k iran dan perkataan dalam buku itu adalah tepat clan terang (kernachtige "'f'crgeving der gedachten, verm(jding van elke overtolligheid, zonder d.oJ duidel(jkheid in te baeten, Themis 1939, halaman 505).
Memang, dalam buku itu Ter Haar membentangkan dengan terang dan sistematis beberapa macam persekutuan hu1kum, tanah, ~".~,rjanjian-perjanjian, hukum perkawilllan, hukum kekeluargaan, hukum W:'I!liS dan lain-lain hal., sehingga kita dapat mengatakan, bahwa isi buku IIu adalah suatu keuntungan besarbagi pel'kembangan hukllm kita. Makin h;myak kita mempelajari buku karangan Tel" Haar ini, makin tertarik
ilia o1eh isi bukl1 itu. Pendek kata, dengan terbitnya Beginselen en stelsel I,m he! adatrecht itu, Ter Haar I'nemlberikan slLIatu sumbangan yang ',;Ingat berharga bagi kita dan yang harus kita hargai.
Dalam politik hl1kum adat, Tel' Haar berjuang supaya misalnya hak 1IIIayat (beschikkingsrecht) mendapat pengakuan formil dalam IlIldang-Ull1idang; pertama, dibdakanE~ layar dalam volksraad, kedua, dalam agrarische commissie van 1928 ketiga, dalam advies der ,ommissie (1930)"" keempat, dalam beberapa karangan-karangan; kita ,;!,~but disini: Het beschikkingsrecht in het adatrecht .... i(Indisch tijdschr, l!h recht, dl. 125, pag. 348 en volg.); Twee agrarischeproblemen (De ,\'tuw, 15 Aug. 1930); De rechten op den woesten grond en de wetgever III Ned. lndie (De Gids, 1932); Het beschikkingsrecht in de jurisprudentie (Koloniaal tijdschrift 23ejrg. 1934). Lihat: MIf'. C. Tj. Bertling: B. Ter 'Ilaar, Bznl, (Koloniaal tijdschrifi, 30e jaargang, No, 3, Mei 1941, bld.
di. Rechtshogeschool dalam kuliah-kuliahnya; Ter Baar melakukan IIII dalam karangan-karangannya; Tel' Haar mengumllmkan ini dalam I '1Ikunya: Beginselen en stelsen van het adatrecht, buku mana disamping 11111\\1 van Vollenhoven, sangat perlu bagi seorang penggernar hllkum
1,1:1["170,
"Akan tetapi, bllkan saja Soepomo yang memuji buah pikiran Ter Il:lar dalam buku itu; salah seorang ahlih~lkum yangternamajuga, seperti dlllarhum Mr. F.D.E. van Ossenbruggen mengemukakan bahwa buah 101 k iran dan perkataan dalam buku itu adalah tepat clan terang (kernachtige "'f'crgeving der gedachten, verm(jding van elke overtolligheid, zonder d.oJ duidel(jkheid in te baeten, Themis 1939, halaman 505).
Memang, dalam buku itu Ter Haar membentangkan dengan terang dan sistematis beberapa macam persekutuan hu1kum, tanah, ~".~,rjanjian-perjanjian, hukum perkawilllan, hukum kekeluargaan, hukum W:'I!liS dan lain-lain hal., sehingga kita dapat mengatakan, bahwa isi buku IIu adalah suatu keuntungan besarbagi pel'kembangan hukllm kita. Makin h;myak kita mempelajari buku karangan Tel" Haar ini, makin tertarik
ilia o1eh isi bukl1 itu. Pendek kata, dengan terbitnya Beginselen en stelsel I,m he! adatrecht itu, Ter Haar I'nemlberikan slLIatu sumbangan yang ',;Ingat berharga bagi kita dan yang harus kita hargai.
Dalam politik hl1kum adat, Tel' Haar berjuang supaya misalnya hak 1IIIayat (beschikkingsrecht) mendapat pengakuan formil dalam IlIldang-Ull1idang; pertama, dibdakanE~ layar dalam volksraad, kedua, dalam agrarische commissie van 1928 ketiga, dalam advies der ,ommissie (1930)"" keempat, dalam beberapa karangan-karangan; kita ,;!,~but disini: Het beschikkingsrecht in het adatrecht .... i(Indisch tijdschr, l!h recht, dl. 125, pag. 348 en volg.); Twee agrarischeproblemen (De ,\'tuw, 15 Aug. 1930); De rechten op den woesten grond en de wetgever III Ned. lndie (De Gids, 1932); Het beschikkingsrecht in de jurisprudentie (Koloniaal tijdschrift 23ejrg. 1934). Lihat: MIf'. C. Tj. Bertling: B. Ter 'Ilaar, Bznl, (Koloniaal tijdschrifi, 30e jaargang, No, 3, Mei 1941, bld.
Tesis ter Haar adalah mengenai hukum acara orang Indonesial72. Tcsi" ini ditulisnya pada tahun 1915. Sembilanbelas tahun kemudian, "Dalam tahun 1934 ia menerbitkan lagi suatu pub1ikasi tentang hukum acal'H :1 dalam Indisch ttjdschr. v.h. recht, dl. 140, 1934, pag. 35 C.V., tcntal1~1 Welke eischen stelt toe passing van ongeschreven materieel privaatredrJ aan organisatie en procesrecht der inlandsche rechtbanken? Ter Ham mengatakam disini bahwa Jlwkum acara hams membawa hak serapat-rapatnya dengan masyarakat Indonesia (Soepomo, Mr. B. '1\11' Haar Bzn, Knd. LV.h.r. dl. 154, aft. I , 1941, halaman 13 dan selat~jutnya),
Pembatasall hukum adat (ajbakening van het adatrecht). Yanl/l dimaksudlkan T(~r Haar ialah berlmbung dengan peradilannYi~1 (rechtspraak) rad-rad agama (priesterraden) dalam soal-soal hukum waris (in kwesties van erfrecht). Rad-rad agama ini diubah menjad~ pengadilan••pengadilan pCllglmlu (penghulugerechten). Lain dari ilU kekuasaan hukum (rechtsmacht) penghulu (godsdienslige rechter) mendapat Ikeltentllilm Ihukum yang lebih Itegas (beter o,mltind). Suall! mahkamah (Hof van lslamitische Zaken) dibentuk. Ini semul~ pekerjaannya Ter Baar. Lilla!: Karangan-Ikarangan Bertling dan SoepolTlO di atas, halaman 269 Clan 12.
Bahwa antara Imkum adat dan lllmu etnologi tiidalk saja ada hubllngall yang erat sekali, akan tetajpi lebih-Iebilh untuk mempllnyai pengertiall tepat atas beberapa hal dalalltll hukum adat, ilmu etnologi sang~I:1 ii diperlukan, dikemukalkan oleh Ter Haar dalam pidatonya Ipada tanggal Ii: 28 Oktober 1937 (diesrede 1937) dilT/ana Ter Haar mellgatakan bahw;:1 ~I ilmll etnologi (rechtsethnologle) adal.ah jperlu untuk rnendidik ahli-ahli ' hukum-adat, dan lebih terang dalam bulku Ter l--Jaar: Beginselen en ste/set :1
,
van het adatrecht. Seringkalli dallam OUklll1 itll Ter Haar mell1lulis, bal1wi~ I,ll
beberapa perlbllaltan dalam hukum adat berdasar rdigio-•maglis, balhwlli :III,' ikatan warga desa dan tanah adalah reliogio magis, dasar panjer ialal,I:II'i
•.11'1;:
religio-magis, dan lain-lain"17J':III,li
Tentang karya "Soepomo sebagai sarjana,"174 -, dalam 1939 'il<.'nggantikan Ter Haar dli Rechthogeschool, - dan yang mCl1jadi plltra II,donesia lPertama, Resink menulis: "Pada tahuo 1927, ketika baru !1l:lumur 24 tahun, Soepomo memperoleh ge1ar doktor dalam ilmu hulmm I'lda Rijksuniversiteit Leiden (Negeri Belaoda). Yang menjadi !I:lIlrlotomya ial.ah van Vollcnhovel]. Soepomo menjadi sarjana hukum 1:';lllgsa Indonesia Ikelillna yang memjpf'Koleh ge!ar dokltOJr daJam ilmu lildmm dibawah pimpinan mahagufIllI yang termasyhllr itll. Miereka yang 1!II1.:ndalmlui Socpomo dalam m(~mperoleh gelar doktOJr ntu ialah I ;ondokoesoemo, Koesoemah Atmadja, Enda Boemi dan Soebwto; "'lcrelkajugaJruemlahului Soepomokealam Ibakasebelmn ul11U1rmencapai .',0 tahuo. Bahwasanya hukum adatlah yang paling Illenarik perhatilan '
13); pacla talum 1933 dliterbntkan buku yang terkenal l./d.adatprivaatrecht van West-Java; paOla tahun iitujlUlga dibuatnya sualtu ,fcskundigenverslagtell1itaulg hulkunl hallta perlkawinall di daerah Cianjur 1'11'., 137); parela tailmn 1936 praeadvies mltuk iVierde Nederland•.Jndische Juristencongres tentang Het vervreemdingsverbod van lnlandsche ::ronden; padla tatllm 1937 dua karangan mengenaiSchijnhandeling en IIverschrUving van grond clan M.iddel-Javaansch erfi-echt (T. 143); pada lahun 1939 dibllatnya sHah]1 Verslag nopens het onderzoek naar het I.ldatrecht ter hoofdplaats Batavia 1(1'. 1501) dan pada talmn 194 I ole\] Soepomo diucapkan suatu omsi pelantikan sebagaii guruibesalr tenltang ne verhoudingvan individu en gemeenschap in het adatrecht. Disamping ditullisnya. karangan••kamngalll ini, oleh Soepomo diadak:mjuga beberapa il injauan bllku dalatn indisch. '1'Vd~'chrift van het Recht dari Italmlfl 1934
sampai tahun 1941, yaitu tinjauan buku atas disertasi .Knottenbelt (T.] 39) dan disertasi Caron (T. ]51), atas orasi Holleman (T. 142) dan orasi Kom (T. ] 52); aklhirnya dibuatnya suam nekrologi (Riwayat almarhum) Tel' Haar (T. 154).
Sete]ah Perang Dunia II, Soepomo, Ikini hampir senantiasa da]am bahasa Indonesia, menaruh perhatian Ikhusus terlhadaJP politilk hukum adat dan kedudukan hukum adat di kemudian hari dan :sejarah politik hukum adat pacla zaman yang silam. Karangan-karangannya dad tahull 1[947 tentang. Soal-soal politik hukum adat dikemudian hari, yang diterbitkan dalam majalah Hukllm dan, kemudian, suam terjemahan dari pidato yang diueapkannya da]ambahasa Inggris dikota Washington pad" tal1unJ•952 tentang hukum ad at dikemlldian hari berhubllmg dengan pembinaan negam Indonesia, yang diterbitlkan clalam rn~Jialah hukum pada tahuo ] 952 itu pula dan kemudian lagi diterbitkan kembali dalam himpunan Bab-bab tellltang JH[ukum Adat -Ihimpunan ini diterbitkal1l setelah S:oepomo meninggal -.- sebagai suatu karangan pembukaall himpunan tersebut, semua ini memperliha1:kan idealisme Soepomo d1aHam bidang politilk hukum itu.,
Mengenai iidealiismeini, m(~nUrult pendapat saya agak Irnaif (naiej), kemudian Soepomo merasa kecewa, dan oleh :sebab itu, d1iHuar dugaan ball1lyak orang, tawaran yang disampaikan kepada Soepomo untl.llk memiimpin Lembaga Pembimlan Hukum Nasional tidalk begitu menggembirakaill!1lya. Pandangalr1l reaiisrne historis yang dimil[iki Soepomo mengenai politik hukum adat paGla zamml dar.mllu tl~rnyata dalam bukllnya St~jaral1 poiitile hukm1rl ad at, yang telah beber.apa lkall dicetale kemibali. Jilid pertarna bulku ini ditulisnya berSBllTllll"slllma dengan Djokosoetono dan diterbitlkan pada tallnm 11950, sedang:kan jiii.d kedula diterbitkan dengan ibantuan Djokosodono danNyonya [1v11r.. lP'id~'rs Gm pada 1:ahun ] 954.
Juga :sistem hukmTl adat mendapat perhatimn Soepomo.,F'erha:tiaH itiB terbukti dalam karangannya Sistem Ada! yang dinmat dalam lhiimpumll11 Bab-bab tentang hukum adal. yang :telahsaya :singgung diatas tadi. HimplUlnan ini mermmt pallia karangall1l-karal1g11lfl HukumAdat Waris dan Hukum Ada! Delik, Ylllng melukislkan sish~m bagialOl••1bagJian Ihulmrn adat tersebut"175
Soepomo tidak hanya menaruh pcrhatian terhadap hukum adat dan p!llitik hukum adaL Sebagai seorang sarjana yang aktif dalam "111.~mbangull1l hulkum banI Republik Indonesia, khusus pada vvaktu ia IlidUlk dalam 'belberapa Ikomisi penting, iia menaruh perhatian terhadap I, I Ii; !.1m tata negaml76, Ketilka ia menjalba1t dulla besar di London dan juga 1'.lllm 'wakt'u1 sf.~slJdah ikemibaiii dii lndonl~s.lia, Socpomo sang,aK IiIII:rnpcJ['hatikan hadamm i!llltemasionadL. J?ada ''ialktu Soepolfno ada di negeri I ill',griS, ia mengadak:m cClmnllah•••ceramah dli unrversiitas-llJ,niversitas "II,griis telli\:a11lg rn21s3llah••rnasallah sosiaJ di Indiones,ia'T.
I /;fYilli:rnyat, p~~~la}~.rH:J~ .1:~I~~IHl1I.c a,d::1'l denga:ll. se~1,~ji,r.il:lya ~:o~orna~i,::;? fllulampungl oieh P',Il~dIi[JllkdI111td.ta 1r1il.lIl.1lnn cLul puadd,w dl Indoi]l;_,;,1di
;1I:b iUIKril.lrnl1lya., yang terunU311: d311larn dU
III: didia11lIui\!ui slJlatu k31I"JUlgan yaln!'; di.l.ulis pada ([al-tllilil 1929, Y31itu IDI,"
1.1 ':lltOIlnr'll:,elCiltS!IU'21;mlk 11m: ,
,ILdS
''Te1lapi prodluktivitas SoepolTlo dia:iarn !liima ba:gian Ila:pangan iirnu :')Silal! inr 1tidak salina besar. lDeJinikian juga unrtu dlari apa yang .1 dwsilkarnnya dalallm ti:nlat lapall1lgallil ilmu sos.ial 1lersdmt, tiidiak sarna Illnggi.lDiniia.ii dalll'i sndut iill11IIUL. rnaka dapat dikatalkan baillwa peikcI:Jiaan ":oeporl1o daiamOl bidang hulmm ad:at" baiilk !f1rwnurult kuantitas :!1nal.lpun 1I1]lenurut kuafiiitas.,jauh eli atas peikeltjaan••pekeljaan yang lain. Disampiing
politik hukull1 adat sejak tahun 1848. Yang menarik perhatian adalah
tulisan-tulisan beberapa pegawai Pamong Praja Belanda dan hukull1 Uuristen) yang mencoba ll1elihat lembaga-Iembaga adat itu sudut penglihatan orang Indonesia sendiri"180.
Mr. C. Th. van Deventer menemukan latar belakang "minta
yang menjadi kebiasaan orang Indonesia dalam melakukan berbaglli transaksi, yaitu "persekot" itu tidak lain daripada panjer. Mr. C.A, Wienecke menemukan bahwa dalam barang roerend dan barauH onroerend tidaklah tepat, seharusnya ada pembagian dalam barang "yall~l dapat diganti" dan barang "yang tak dapat diganti"
Pad a tahun 1913 Logemann, yang bekerja di Blora, menunjuk pada istilah-istilah hukum adat -- jual atau adol, sah, tetap, panjer, tebas, borong .. - yang diteT:iemahkan salah dalam bahasa Belanda, dan akibat pendapat baru Logemann itu, selanjutnya, banyak kesalahan paham tentang lembaga-Iembaga hukum adat dapat dihilangkan. Mr: F.D. Holleman -- yang namanya telah disebut dalam Bab III di atas tadi mempublikasikan "penemuan-penemuan yang menarik"l8l tentall!r sistem hukum adat di Tulungagung (Jawa Timur) dalam suatu rangkaian penyelidikan pad a tahun 1918, 1920 dan 1924 (dikumpulkan dan diterbitkan kembaii pada tahun 1927), dan pada tahun 1923 Holleman menulis buku yang terkenai tentang Het adatgrondenrecht van Ambon en de Oeliassers. Pada tahun j 923 itu pula, Logemal1n memperkenalkan sllatu pandangan baru, yang sangat mendekatkan pandangan hidUip orang lndonesia, tentang bantuan yang diberikan oleh penguasa-penguasa adat kepada mereka yang mengadakan perbuatan-perbuatan Imkum adat Padl~ tahun 1919 Mr. Sarolea mempublikasikan suatu "pengex1ian baru"IH:' ltentang kesukuan di Minangkabau.
Pada akhirnya, haluan baru ini dJiperkuat oleh ~matu rangkaian keputusan-keputusan Landraad, yang lebih sesuai dengan hukmn adal: sebenarnya 183.
Juga dari pihak misi dan zen ding datang sumbangan, biarpun kecil tetapi berharga. Disini perlll disebut tulisan--tulisan yang memuat
, dl.lll-bahan tentang hukum adat dari pastor-pastor Geurtjens tentang I' i l'ldauan Kei --; van der Kolk dan Vertenten -- tentang Irian Selatan; d III van der Kolk itu menu lis tcntang Tanimbar dan Kei pula --; Drabbe I, 1IIIang Tanimbarl84. Diantara zendeling-zendeling harus disebut cIua " 1111'; besar: Dr. N. Adriani dan Dr. Albert C. Kruytl85 beberapazendeling 1,,,, yang memberi sumlbangan kepada pengetahuan kita tentang hllkum ,,1.11 adalah Fortgens. Hueting, Meerwaldt, Schut, Warned~, van Wetering ,1,11, Wielenga.186
:';(~jak van VoJlenhoven diangkat menjadi gurubesar di Leiden, maka d, iIIgan sendirinya (otomatis) perhatian terhadap hukum adat itu menjadi I,,';ar pula dalam kalangan perguruan tinggi dan jUlTIlah tulisan-tulisan d," iah tentang hukum adat -- disertasi-disertasi, karangan-karangan dan I II Ilk lI-bukll -kian bertamlbah banyak.
Sampai tahun 1910 dalam kalangan pergllrllan tinggi bel um llH.IIlgkin
I Ii ",dakan sllatll pelajaran akadem is tersend iri tentang hukum adat. Karena k •. :;al.ahan paham yang melihat hukum adat identilk dengan hukum agama I i:-:llam) -- lihat di atas tadi --. maka dengan sendirinya pelajaran hukum ,lIdat itu dilihat sebagai em'belan lslamologi sCflta etnologi. Tetapi justru IlIlisan-tulisan W'ilken, Liefrinck dan Snouck Hurgronye, kecaman 1\lederburgh dan publikasi-publikasi pertama dari van Ossenbruggen, \'ang memberi tempat tersendiri kepada hukum adat, rneyakinkan bahwa pelajaran hukul11 adat tidak dapat diiterllskan sebagai embelan I slamologi ..Ian etnologi, melainkan, karya Wilken, Liefrink clan Snouck HurgronYt\ t'Jederburgh dan van Ossenbruggen telah-memberi landasan kuat llntllk 'Inembangun "suatu ilmu t~~rsendiri tentang hukum adat" .. Disamping itu., istilah adatrecht, yang ditemukan oleh Snouck I-Iurgronye, makin lama makin banyak dipakai dan dikenal umum, sehingga menguntungkan dam pembatasan suatu pelajaran hukum adat dapat dengan tepat diadakan. Pada talmo] 914 kamus istilah bahasa Bclanda yang disusun oleh de Vries dan te Winkel tellah memuat istilah adatrecht, sebagai bukti bahwa istilah tersebllt telah dikenal mnum 187.
hukum daerah kerajaan, lihat di atas. Dibandingkan dengan keadaan sebelum Perang Dllnia II, maka boleh dikatakan bahwa setelah Perang Dunia n kegiatan menyelidiki clan mempelajari hukum aclat itu sangal: berkurang, baik eli Negeri Belanda maupun eli Indonesia. Selbabnya di Negeri Belanela kegiatan itu menjadi berkurang, karena hilangnya Indonesia bagi Negeri Belanda sebagai snatu koloni Belanda. Pun tidak lagi bekerjanya eli sini orang-orang Bdanda sebagai pegawai Pamong Praja (Belanda), sebagai hakim, bahkan, sejak aksi Irian Barat pada tanggal 3 Desember 1957 tidak aela lagi seorang Belandla yang menjadi gllrubesar dalam kaIangan perguman tinggi kita.
Sebabnya di Indonesia kegnatan itll menjadi berkurang karena para sarjana hukmn Ieita masih sangat terikat perhatian dan tcnaganya pada penyelesaian berbagai persoa!an yang lebih urgen berhubung dengan tugas pembangunan dan tugas penyeJesaian revalusi Indonesia. Mereka belmll mempunyai cukup waktu untuk m'~ngadakan penyelidilkan clan pelajaran tentang hukum adat.
Beberapa publikasi yang diterbitkan eli 'Negeri Belanda setelah Perang Dunia H: diantara yang pentlng dapat clisebut: pada tahun 1945: disertasi J.J. Donneier yang menguraikan Banggaisch adatrecht; disertasi E.H. s' Jacob tentang Lancl.wlomein en adatrecht - claJ i I-dalil (stellingen) yang dikemukakan s' Jacob dibantah keras oleh Kom clan R. val!ll Dijk dalam brosur mereka Adatgrondenrechl en domeinjictie yang ditu I is pada tahun 1946; dan lihat juga karanganM. Sonius, pilihan tentang hukum yang berlaku di atas tanah212 -; pada tatum ] 948: disertasi R. van Dijk tentang Samenleving en adatrechtsvorming diisertasi J. Keuning ten tang Verwantschapsrecht en volksordening, huwe.lijksrecht en erfrecht in het Koeriagebled van Tapanoeli, disertasi J. Prins tentang Adat en lslamietische plichtenleer in lndonesie; pac1a tahun 1952: PJrajoedi Atmo:soeOlirdjo menulis suatu disertasi yang membandlingkan hukum adat orang Madura eli Jawa Timur elengan hukum adat orang Using2l3. JDisel1asi-disertasi s' Jacob dan Prajoedi dipertahankan pada Universitas Utrecht sedangkan disertasi-c1isertasi yang lain dipertahankan pada Universitas L(;~iden.
Beberapa pubJikasi yang diterbitkan di Indonesia setelah Perang I hll1ia II adalah: pada waktu Republik Indonesia beribu kota £Ii Y ogyakatia: lahirlah dua pidato Soepomo yang mengupas soal-soal politik hukum dalam pembangunan negara Indonesia214 clan yang IIlcramalkan Kedudlllimn hukum ad at I[Hkemudian hari215, tlljuh dalil ':llcpomo yang dikemukakannya dalam karangan tentang Hukllm sipil Illdonesia di kemudian hari216; pada tahup J 950 diterbitkan jilid I buku :;oepomo dan Djokosutono telltang Sejarah politik hukum adat danjilid III blllku tersebut -- yang ditulis dengan bal1tllan Nyonya Ch. Pieters-Gill
diterbitkan pada tahun 1954 (Iihatlah diatas tadi); pada tahun 1954 itu Ilula dipublikasi pengantar hukum adat yang pertama: karya R. van Dijlk
.. lihatlah kata pengantar pada permulaan buku inj217 sedangkan oleh :c:oekanto d itu lis suatu ikhtisar (overzicht) pertama tentang hukum adat. I"entang karya Soekanto ini lihatlahjugaKata Pengantarpada permulaan I,uku ini. Akhirnya, perlu disinggllog beberapa karya Hazairio yang tidak Ilanya mengllpas hubungan antara hukum 1sla.m d1engall hukum adat tetapi Iluga memuat bahan-bahan penting tentang hl.lkum adat dan masalah pembangunan diJapangan hukum pada umulTlnya; ialah: pidato di Salatiga pada tahun 1950 mengenai HllllkUllull>aru di lirndlollllesia .. - Hhat d i atas tadi .... ; HllJlkllllllll1l l[slam £Ian MasY;lllrak~lt; PI;:rgolakan, Penyeslla.ian Adat kepada hukum Islam; "lmllollliesna s:ahJ1 ma:sjid"; semuanya pidato dan ceramah yang diadakan an tara tahun 1950 dan tahun ] 953; pidato inaugurasi di Jakarta pacla tanggal 13 September 1952 rnengenai "Kesusilaan dan .... lihat Bab][ di atas -"Hendak Ikl;:mana hukum Islam"2111 dan "Hukum waris bilateralmenurut Ai .. QlIr'an"219.
Di atas tadi telah dikatakan, bahwa dibandingkan dengan keadaan sebell1l11 Perang DlInia II tidak saja di Negeri Belanda tetapi juga di Indonesia, kegiatan menyelidikii dan mempelajari hukmn ad/at itu sangat berkurang; tetapi syu!kurlah, sejak tahun 1957 tampaknya usaba
menyelidi'~i danmelnpelajari'hukllli1' adatH~lah giat k'emball.Kegiatan terse but menjadi Icbill besar e1alirlsahamengadaka~penditian-pUli hilah bertambah banyak. Mungkin hal ini disebabkan oleh faktor keamanan serta kondisi-kondisi sosial politik telah lebih banyak memberikan kesempatan kepada pemillaf.-peminat dilapangan hukum adat. Kegiatan dan minat itu tampaknya berpusat pad a beberapaUniversitas, yaitu UniversitasGajalunada Y ogyakalia dan di Universitas Indonesia Jakarta. Kegiatan itu tidak hanya ditujukan pada "penyelidikan norma-llorma hllkum ad at yang bam", tetapijuga pada penyelidikan-penyelidikan latar belakang sosio-kulturalnya_ Kegiatan itu tampak dalamsuatu rangkaian publikasi "TinjauanSosiografi ]ndonesia" dan dalam penerbitall sebuah majalah "Sosiografi Indonesia" oleh Panitia SoCial .Research Ulliversitas Gajahmaela"220. Kemudiatlo1eh Yayasan Pembina Huklll11 Adat Universitas Gajahlllada diterbitkan "Maj'alah hllkurn Adat". Datlse'gala kegiatan inikiranya mendapatdorongan atallpun dipimpin langsllllgdan dijiwai oleh Prof. M.M. Djojodigoeno, yang disamping itu teJah pula mempublikasikanberturut-turut hasH karyanya"Menyar\dera Hllkum Adat"221, "Reorientasi Hukumdall Huklnl1 Adat"222 dall "Asas~asias hukum adat"223_
, Pad a Universitas IndOl~esja, Prof. Nilsroen menllIis tentang s.ua~lI segi barn daripada huk~lm adat, yaitl,l Dasar falsafah. adat Mina,ngkab("lu,224 dml tak lama kemudian diterbitkan sebuah hasi) ,karya Prof. Soepqmo terbaru, suatu hinlpunan kara,ng
wafat"226. Keinudial\~ sllatll "Kll111pulan putliSall Mahkamah Agung mellgenai hukl11-h adat" telah dihilhpun pula olej1r>rof. Soebektid~hJ. . Tamara, - 1961 -, yang beri'si 50 k'eplltl.lsan-keputusan penting dilapkNgan
hukum adat dan patut dicatat pula karya Prof. S.A. Hakim mengenai "'Juallepas, jual gadai dan jual tahunan", 1960; dua karangan lain yang dipublikasi dalam majalah "Pajajaran"227 menarik perhatian kita, yaitu "Inventarisasi hukum benda perkawinan aelat" oleh Bueli Sembiring S.H. dan "Lembaga kontrak ijon ditinjau dari sudut hukum", oleh Saleh Adiwinata SW28. Dan patut dicatat e1isini sebuah tesis yang sangat penting artinya bagi penyelidikanetnolggi dan hukum adat, ialah hasil karya Dr. Koentjaraningrat! 'Beberapa metode antropologi dalam penyelidikan-penyelidikan masyarakat dan kebudayaan di Indonesia", 1958. Dengan giatnya kembali lIsaha menyelidiki dan mempelajari hukllm adat itll, maka kita berharapan besar akan lahirkan kembali, suatu tingkat pelajaran hukum adat yang mutunya sesuai dengan keadaan sebelum Perang Dunia 1I seperti halnya pernah dilakllkan dan dipertahankan oleh Ter Haar dan Soepomo.
Hal itu adalah suatu keharusan, karena hukum adat tetap merupakan suatll bagian penting e1aripada penghidupan sehari-hari bangsa kita. Terlebih hal itu dirasakan, kalau kita mengingat bahwa hukurn adat dapat memberikan bahan-bahan yang bernilai bagi pembinaan huklllm Imasion:lll dimasa yang akan datang, yaitll suatu sistem hukum yang benar-benar sesu3u dengan kepribadian bangsa Indonesia dan memenuhi keperluan dan kepentingan selurllh lapisan dan golongan rakyat kita.
Sebelum menutup bab ini" masih ada satu hal lagi yang memohon perhatian kita. "Kesaelaral1 orang Barat" akan hulkllm adat yang saya sebllt di atas ta&, tidak hanya menghasilkan timbuillya suatll ilmu hukllm adat, sebagai suatu cabang ilmu hukum yang berdiri selldiri, tetapi juga turut mendirikan suatu cabang ilmu hulkllm yang lain, ialah: ilmu hllkum an tar golongan.
JPengaruh ilmu hukllm adat atas tumbulmya ilmu hllkum antar golongan itu, kelihatan dalam sebuah karangan van Vollenhoven yang-J tennuat dalamjilid III He! Adatrecht van Nederiand~ch Indie229• Tetapi
bukanlah van Vollenhoven yang menjadi systeembouwer, pembentuk atau penyusun sistem ilmu hukum antar golongan itu tetapi seorang bekas muridnyalah yang menjadi gurubesar pada Sekolah Tinggi Hukum di .Jakarta dari tahlln ] 924 sampai 1935, yaitu: R.D. Kollewijn23o.
Sesudah Kollewijn berangkat ke Negeri Belanda, dimana ia melanjutkan perkuliahan hukul11 antar golongan pada Universitas Leiden, maka perklliiahan hukum antar golongan pada Sekolah Tinggi Hukum diteruskan oleh W.F. Wertheim231. Sesudah Perang Dunia n pada Universitas Indonesia di Jakarta, kuliah-kuliah hukum antar galongan diberikan oleh seorang bekas murid Kollewijn, yaitll W.L.G. Lemaire.232 Selanjutnya, pada tahun 1951 dalam kalangan Universitas Indonesia, sesudah Lemaire berangkat ke Nederland, kuli.alht-kndiab tersebut diberikan oleh seorang bekas murid Kollewijn yang lain, yaitu G.J. Resink, yang menitikberatkan penyefidikannya pad a sejarah hukum antar golongan itu233. Pada tahun 1955 Resink bertindak sebagai promotor terhadap seorang bekas murid Lemaire, yaitu Gouw Giok Siang, yang menulis sebuah disertasi tentang beberapa segi hukum peraturan perkawinan campuran234. Setahun kcmudian, yaitu pada tahun ] 956, Gouw Giok Siong menggantikan Resink sebagai gurubesar dalam mata peJajaran hukum antar golongan dikalangan Universitas Indonesia2Js• Pada tahun 1955 itll pula, Lemaire mcnggantikan Kollewijn dikalangan Universitas Leiden236, Sekali lagi, pada tahllu 1956 itu, seorang bekas murid Resink, yaitu Moh. Koesnoc, memlllai sllatu tllgas mengajar
hllkum antar golongan dikalangan Universitas Hasanuddin di Makassar (kngan mengadakan suatu kuliah umum tentang arti, tempat dan sifat hukum intergentiF37 .
Pada tahun 1957 oleh Gouw Giok Siong diterbitkan .. sesudah disempurnakannya -- diktat kuliah Resink, dibawahjudul Hukum Antar l!;olongan. Suatu pengantar238. Buku ini merupakan baik sebagai pengantar .maupun sebagai "handboek" pertafua tentang hukum antar golongan. '''Pertama itu, karena systeem-bouwer-nya sendiri tidak menulisnya239 _ II<:ollewijn menguraikan sistem hukum antar golongan itu dalam suatu liangkaian karangan-karangan, tetapi, mpanya, tidak diberi waktu untuk menyusun suatu buku yang meliputi segala aspek hukum antar golongan ilu. Pada tahun 1957 itu dan tahuu ] 959 oleh Gouw Giok Siong, sebagai hasil usaha melengkapi daftar !iteratur tentang hukum antar golongan, .u1isusun dan dliterbitkan suatu himpunan keplltusan-keputusan (jl1lrispruden) hllkum alltar golollgan240.
Seperti yang dikemukakan oleh Gouw Giolk Siong dalam pidato pelantikannya (Jihatlah noot 235), memang pada saat ini hukum antar golongan itu adalah suatu hukum yang hid lip, tetapi, menllrut perkiraan ~;aya, riwayat hllkum antar golongan itu tidak begitu lama lagi, lebih-!ebih sesudah berlakunyakesatuan hukum nasional dikemudian hari. Bam saja, hil.llkum antar golongan dilapangan hukum tanah (agraria)241 menjadi lenyap.
Dalam masa 1960- ] 975 dapat dlicatat suatu kemajuan penulisan H[ukum Adat yang berasal dlari hasil penyelidikan di lapangan atau pengalaman para penulis sendilt'i, maupul1 penelaahan-penelaahan yang bersumber pada literatur yang lebih dahulu, Dapat kita tambahkan disini sederetan publikasi di lapangan Hukum Adlat yang sebagian besar kita ptetik dari "Bibliografi Hukum IndonesJia", yang diterbitkan oleh Lernbaga Penyelidikan Hukum dan Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Pajajaran, Bandung, sebagai edisi terakhirnya diterbitkan pada tahun ] 974 dan dihimpun oleh Eddy Damian dan Robert N. Hornick J.D. dan diterbitkan aleh "Penerbit Alumni" Bandung.
Langganan:
Postingan (Atom)